Senin, 30 Juni 2025

Qira’ah Kehidupan: Kesadaran Sebagai Makhluk dalam Narasi Agung Al-Khaliq

Di tengah gelombang zaman yang penuh ambisi, kebingungan, dan kekosongan makna, manusia sering kali tersesat dari satu pencarian ke pencarian lain, tanpa pernah benar-benar mengenal siapa dirinya. Padahal, dari satu qira’ah yang jernih yakni membaca dan merenungkan hakikat diri dan kehidupan manusia akan tiba pada satu titik terang ia adalah “Makhluk”, ciptaan Allah “Al-Khaliq”. Kesadaran ini bukan sekadar informasi keagamaan, melainkan bagian dari Narasi Agung, yang sakral dan transenden, tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali.


Allah sebagai Al-Khaliq:Asal Usul dan Arah Tujuan

Dalam Al-Qur'an, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai “Al-Khaliq” Pencipta segala yang ada. Ia menciptakan manusia bukan tanpa maksud, tapi dengan tujuan yang luhur:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.”(Qs. 51: 56)

Manusia diciptakan untuk mengenal, menyembah, dan hidup dalam keterikatan spiritual kepada Tuhannya. Dari kesadaran ini, tumbuh “Taslim” yakni ketundukan dan kepasrahan terhadap kehendak Allah. “Taslim” bukan bentuk kelemahan, tetapi pengakuan jujur dan utuh bahwa kita tidak memiliki apa-apa selain dari yang telah Allah titipkan. “Taslim” menerima, menyerah, tunduk dan patuh terhadap-Nya, “Taslim” adalah Sikap yang lahir dan tumbuh dari dasar pemahaman seseorang terhadap status diri yang serba doif dan bergantung. Tidak memiliki kekuatan dan kemampuan, tidak bisa hidup berdiri sendiri, serta fakir dihadapan Allah yang maha Alim, maha kuasa dan maha besar, sehingga seluruh eksistensi dirinya sangatlah bergantung sepenuhnya kepada Alloh dalam seluruh hidup dan kehidupan. Qs:6: 71-72

 

Ma‘rifatullah:Jalan Menuju Ketauhidan

Kesadaran sebagai makhluk akan menemukan bentuk terdalamnya ketika seseorang menempuh jalan “Ma‘rifatullah” mengenal Allah secara hakiki, bukan sekadar mengenal nama-Nya, tetapi memahami sifat, kehendak, dan kasih sayang-Nya melalui perenungan ayat-ayat kauniyah dan qauliyah.

Melalui “Ma‘rifatullah”, akan tumbuh akar kokoh dalam diri manusia: Aqidah Tauhid pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Zat yang berhak disembah dan menjadi "Pusat" ketergantungan. Dari “Tauhid” ini akan lahir sikap: Iman Yang Hidup, bukan hanya dalam keyakinan, tapi juga dalam tindakan: bertakwa dalam ketaatan, bersabar dalam ujian, dan bertawakal dalam segala urusan.

 

Keteladanan Nabi Ismail:Taslim dalam Iman dan Tawakal

Kisah Nabi Ismail ‘alaihis salam menjadi teladan abadi dalam bagaimana seorang makhluk menampakkan “Taslim” sejati kepada "Al-Khaliq". Ketika ayahnya, Nabi Ibrahim, mendapat perintah untuk menyembelihnya, Ismail tidak memberontak. Ia tidak bertanya mengapa. Ia tidak lari. Ia menjawab dengan kalimat yang menunjukkan betapa dalamnya “Iman” dan “Tauhid” yang tertanam melalui “ma‘rifatullah”:

"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."(Qs. 37: 102)

Sikap Nabi Ismail menunjukkan bahwa seorang makhluk yang telah mengenal Tuhannya tidak lagi takut kehilangan dunia. Ia tahu, yang paling penting bukan mempertahankan hidup, tapi tunduk pada kehendak-Nya. Inilah puncak dari “Taslim” pasrah yang bukan putus asa, tapi penuh “Iman”.

 

Dari Kesadaran sebagai Makhluk:Menuju Pertanggungjawaban

Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah makhluk, dan bahwa hidup ini adalah ladang ujian, ia akan hidup dengan arah dan tanggung jawab. Ia tidak lagi mengandalkan egonya, tapi menggantungkan hati kepada Allah. Ia tahu bahwa dunia bukan tujuan, melainkan tempat berlalu. Dan pada akhirnya, ia akan kembali kepada Al-Khāliq untuk mempertanggungjawabkan hidupnya.

“Dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.(Qs. 39: 44)

Kesadaran ini melahirkan kewaspadaan moral, pengendalian diri, dan kehati-hatian dalam melangkah. Ia tidak berani melalaikan hidup, karena sadar bahwa setiap detik adalah amanah, dan setiap amal akan dibuka pada Hari Pengadilan.

 

Kesadaran Sakral dan Transenden:Hidup dalam Kehendak Sang Pencipta

Sebagai bagian dari “Narasi Agung” itu, hidup manusia menjadi “sakral” dan “transenden”. Setiap langkah, pilihan, dan pengalaman, bukan sekadar peristiwa duniawi, tetapi bagian dari perjalanan menuju perjumpaan kembali dengan Sang Al-Khaliq. Hidup menjadi ladang ujian, tempat manusia menunjukkan sejauh mana ia mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Tuhannya.

Dalam sakralitas dan transendensi ini lahir sikap “Taslīm ketundukan dan kepasrahan. Manusia menerima bahwa dirinya terbatas, bahwa ia tidak bisa mengendalikan segala hal, dan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa penuh atas hidup dan kematian. Tapi dari keterbatasan itulah tumbuh kekuatan "kekuatan untuk bertawakal, bersabar, dan terus berharap kepada-Nya".


Wallahu ‘alam

Abu Roja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar