Dalam lelucon sehari-hari, kita sering menyebut sandal jepit murahan dengan istilah “sendal jepit.” Unik namanya, dalam maknanya. Sederhana bentuknya, murah harganya, tapi tetap berguna. Namun sering kali, saat dipakai di tempat umum, timbul rasa malu; dan saat dilepas, kaki terasa panas. Sebuah pilihan yang serba tak nyaman: dipakai sungkan, dilepas pun menyiksa.
Di balik kelucuan istilah itu, tersimpan gambaran tentang kondisi manusia modern. Kita hidup dalam zaman citra —di mana tampilan luar lebih diagungkan daripada makna dalam, dan kemewahan lebih dikagumi daripada kesahajaan. Maka banyak orang terjebak dalam dilema yang sama: dilepas panas, dipakai malu antara tuntutan gaya hidup dan nurani yang sesungguhnya.
Menyoal Kesederhanaan dan Martabat
Kesederhanaan bukan tanda kekurangan, sebagaimana kemegahan bukan jaminan kemuliaan. Dalam Islam, kesederhanaan adalah keutamaan cermin dari kedewasaan iman dan kemurnian jiwa. Rasulullah ﷺ, manusia paling mulia, justru hidup dengan penuh keprihatinan. Beliau tidak mencela makanan sederhana, tidak menolak pakaian bersih meski lusuh, dan tidak membanggakan apa yang tidak beliau miliki.
Namun kini, dalam budaya yang penuh gemerlap dan standar artifisial, kesederhanaan sering dianggap memalukan. Seolah hidup sederhana adalah tanda kegagalan. Padahal, nilai sejati seseorang bukan ditentukan oleh yang melekat di tubuhnya, tetapi oleh yang tertanam dalam hatinya.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”(HR. Muslim)
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”(QS. Al-Hujurat: 13)
Hedonisme: Antara Gengsi dan Kegelisahan
Budaya hedonistik menuntut manusia untuk terus tampil. Bukan lagi kebutuhan yang memandu, tapi keinginan untuk dilihat dan dikagumi. Akibatnya, orang lebih sibuk mencocokkan hidup dengan selera pasar ketimbang prinsip nilai. Yang dicari bukan keberkahan, tapi pengakuan.
Dalam dunia seperti ini, iman pun bisa menjadi kosmetik. Simbol-simbol agama diperlihatkan, tapi niatnya bukan karena Rabb, melainkan karena sorotan kamera. Padahal, iman sejati tidak selalu bersuara, tetapi selalu hadir dalam laku. Tidak selalu tampak, tapi selalu memberi arah.
Ketika hidup ditentukan oleh “apa kata orang”, maka lahirlah kegelisahan yang tak selesai. Gengsi merayap naik, tapi jiwa terus merasa kecil. Karena yang diukurnya bukan kebenaran, melainkan penilaian sesaat yang fana.
Menyederhanakan yang Mulia, Memuliakan yang Sederhana
Analogi sendal jepit menggambarkan bagaimana kesederhanaan sering dianggap beban, bukan pilihan sadar. Bahkan ketaatan pun kadang dijalani demi citra bukan karena iman. Maka hidup jadi semu: menuruti kenyataan tapi merasa rendah, atau memaksakan kemewahan yang justru menipu diri sendiri.
Namun di tengah gemuruh zaman, masih ada jiwa-jiwa yang memilih jalan tenang. Mereka yang tetap sederhana dalam laku, meski dianggap “tidak mengikuti tren.” Yang menjaga ketaatan meski tak mendapat tepuk tangan. Merekalah yang sungguh sedang berjalan menuju ridha-Nya sebab hidup mereka bukan panggung, tapi perjalanan ruhani.
Hidup Bukan Kata Orang
Hidup sederhana bukanlah tanda kalah, sebagaimana hidup mewah bukan bukti menang. Nilai seorang hamba tidak diukur dari kemasan, tetapi dari ketulusan dan keteguhan hatinya. Karena iman sejati tidak menuntut pujian, cukup dengan diterima oleh Tuhan.
“Jika kesederhanaan membawamu lebih dekat kepada Allah, biarlah orang mencibir asal Allah meridhai.”
Hidup bukanlah soal terlihat mengesankan di mata manusia, melainkan tentang bagaimana kita menjaga arah, niat, dan amal di hadapan Allah. Sebab Allah tidak menilai mahalnya sandal kita, tetapi arah langkah yang kita pilih.
Hidup lahir dari keyakinan. Dan hanya yang hidup dengan keyakinan, yang mampu melangkah dengan ringan walau hanya beralas sendal jepit.
Wallahu 'alam
Abu Roja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar