Di tengah hiruk pikuk dunia yang makin hingar, manusia mudah kehilangan arah dan makna. Hidup terasa berlari tanpa tujuan, sibuk mengejar tanpa tahu apa yang dicari. Di tengah kebingungan itu, hanya satu yang mampu menjadi pelita penuntun jalan: iman. Bukan sekadar identitas, iman adalah fondasi hidup, ruh yang menghidupkan jiwa, dan kekuatan yang meneguhkan langkah.
Iman adalah cahaya yang menyingkap kegelapan menjadi terang. Dalam kebimbangan, iman menghadirkan keteguhan. Di tengah kemaksiatan, iman memperingatkan nurani. Dalam gelapnya ujian hidup, iman menerangi jalan, membimbing hati agar tidak putus asa. Tanpa iman, hidup seperti berjalan dalam kabut tak tahu ke mana melangkah dan apa yang sedang diperjuangkan.
Dalam ajaran Islam, iman bukanlah sesuatu yang abstrak atau cukup diucapkan tanpa bukti. Ia memiliki tiga pilar yang menyatu: tasdiq bil-qolbi (pembenaran dengan hati), iqrar bil-lisan (pengakuan dengan lisan), dan ‘amal bil-arkan (pengamalan dengan anggota tubuh). Inilah bentuk iman yang sejati—iman yang hidup, tumbuh, dan menggerakkan.
Tasdiq bil-qolbi adalah titik awal iman. Ia bermula dari hati yang meyakini kebenaran ajaran Allah tanpa ragu. Hati yang yakin bahwa Allah Maha Esa, bahwa hidup ini punya tujuan, dan bahwa setiap langkah akan dipertanggungjawabkan. Pembenaran ini tidak tampak, tapi menjadi inti dari semua yang akan lahir setelahnya. Tanpa keyakinan di hati, amal tak punya ruh, dan ucapan jadi kosong.
Lalu iman itu dinyatakan dengan iqrar bil-lisan. Lisan mengucap syahadat bukan sekadar formalitas, tapi bentuk peneguhan dan komitmen. Lisan yang mengikrarkan keimanan adalah lisan yang terikat janji kepada Allah, dan janji itu mengharuskan konsistensi dalam sikap dan perilaku.
Namun iman tidak berhenti di hati dan lisan. Ia harus nyata dalam perbuatan ‘amal bil-arkan. Inilah wujud iman yang sesungguhnya: shalat yang khusyuk, sedekah yang ikhlas, menahan amarah, berkata jujur, menolong sesama, menolak kemungkaran. Sebab iman bukan masalah pengakuan, tapi pembuktian. Ia bukan sekadar apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan.
لَيْسَ الْإِيمَانُ بِالتَّمَنِّي وَلَا بِالتَّجَلِّي، وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي النَّفْسِ وَصَدَّقَهُ الْعَمَلُ
Iman itu bukan dengan angan-angan dan bukan pula dengan penampilan luar, tetapi sesuatu yang menetap dalam jiwa dan dibenarkan oleh amal perbuatan.
Ungkapan ini menyentak kesadaran: iman bukan soal gaya, simbol, atau kemasan. Bukan pula semata klaim dan wacana. Iman adalah kedalaman yang diam di hati dan hidup dalam amal.
Lebih dari itu, iman adalah pengendali hidup. Ia menahan manusia dari tindakan gegabah, menjaga dari kezaliman, dan mengarahkan energi pada hal-hal yang bermakna. Iman bukan sekadar keyakinan batin, tetapi kekuatan yang memberi kendali atas hawa nafsu dan arah atas pilihan. Iman juga menjadi penuntun arah visi dan misi hidup. Ia memberi tujuan, makna, dan nilai dalam setiap langkah. Dengan iman, seseorang tahu untuk apa ia diciptakan, ke mana ia menuju, dan bagaimana ia harus menjalani hidup di tengah kompleksitas dunia.
Dan penting untuk disadari: iman bukan alat untuk menilai orang lain. Kita tidak diberi kuasa untuk mengukur kadar iman di hati manusia. Karena iman itu hakikatnya tersembunyi, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Tugas kita bukan menghakimi, tapi memperbaiki. Bukan merasa paling benar, tapi berlomba dalam kebaikan. Maka, iman sejati melahirkan ketawadhuan, bukan kesombongan religius.
Dengan iman yang hidup, kita menjalani hidup dengan keyakinan. Bukan karena hidup ini mudah, tapi karena kita percaya bahwa Allah Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Menolong. Keyakinan ini bukan pasrah tanpa usaha, tapi ikhtiar yang dilandasi harapan. Bukan pula optimisme kosong, tapi keteguhan yang lahir dari yakin bahwa segala yang Allah takdirkan, pasti mengandung hikmah.
Maka, hidupkan imanmu. Tanamkan keyakinan di hati, pertegas dengan lisan, dan buktikan dalam perbuatan. Biarkan cahaya iman menerangi langkahmu, mengendalikan hidupmu, dan menuntun arahmu. Jangan sibuk menakar iman orang lain, tapi sibukkanlah memperbaiki iman diri sendiri. Karena hanya dengan iman yang utuh—yang tampak dalam amal, terasa dalam lisan, dan tulus dari hati—hidup ini akan terasa kokoh, bermakna, dan penuh harapan
Wallahu 'alam
Abu Roja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar