Makan, sebuah Aktivitas Fitrah yang sarat Makna.
Makan adalah aktivitas paling dasar dalam kehidupan makhluk hidup. Semua makhluk makan dari hewan buas di hutan hingga manusia modern di tengah kota. Namun bagi seorang Muslim, makan bukan sekadar rutinitas mengisi perut. Ia adalah ibadah, bentuk syukur, sekaligus sarana memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Kesalahan Umum dalam Memahami Makan
Di zaman sekarang, makan sering dilakukan bukan karena kebutuhan, tapi karena dorongan emosi atau kebiasaan yang tidak sehat:
- Makan karena kesal, misalnya saat suami marah karena istri belum memasak, lalu ia membeli makanan di luar sebagai pelampiasan.
- Makan karena stres, menjadikan makanan sebagai pelarian dari tekanan batin.
- Makan karena gaya hidup hedonis, mengejar tren kuliner tanpa memikirkan nilai gizi dan kebermanfaatan.
- Makan karena hobi, menjadikan makanan sebagai ajang eksplorasi tanpa kontrol.
Kebiasaan-kebiasaan ini bisa berujung pada masalah kesehatan serius: asam urat, darah tinggi, kolesterol, gula darah, dan lain-lain karena makan tanpa adab dan batas.
Islam: Makan Sebagai Bagian dari Ibadah
Islam tidak hanya mengatur apa yang dimakan, tapi juga bagaimana cara makan. Allah SWT berfirman:“
Makanlah dari yang halal lagi baik, dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”(QS. 7: 31)
Ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan: makanan harus halal, baik (thayyib), dan dikonsumsi secara proporsional. Rasulullah ﷺ pun mencontohkan adab makan yang penuh makna: membaca basmalah, makan dengan tangan kanan, berhenti sebelum kenyang, bersyukur atas setiap suapan dan mengucapkan Alhamdulillah ketika selesai makan.
Hikmah Istri Memasak untuk Keluarga
Memasak bukan sekadar pekerjaan rumah tangga. Ketika seorang istri memasak dengan cinta dan keikhlasan, itu adalah ibadah. Ia menyuplai energi lahir dan batin bagi keluarga, mendidik anak-anak lewat rasa, dan mempererat ikatan rumah tangga melalui sajian yang disiapkan dengan kasih sayang.
Makanan yang dimasak sendiri jauh lebih bernilai daripada makanan cepat saji. Bukan hanya lebih sehat, tapi juga membawa keberkahan karena disiapkan dengan tangan yang menjaga adab dan niat.
Makan Bersama: Sumber Keberkahan yang Terlupakan
Islam sangat menekankan pentingnya makan bersama. Rasulullah ﷺ bersabda:“Makanlah bersama, karena dalam makan bersama terdapat keberkahan.”(HR. Abu Dawud)
Makan bersama menyatukan hati, membuka ruang komunikasi, dan menguatkan ikatan keluarga. Di meja makan, bukan hanya tubuh yang mendapat asupan, tapi juga jiwa yang terhubung lewat kebersamaan.
Sayangnya, kebiasaan ini mulai hilang. Salah satu penyebabnya adalah terlalu sibuk dengan gawai.
Gawai adalah istilah untuk perangkat elektronik modern seperti HP (ponsel pintar), tablet, atau laptop. Gawai memang bermanfaat, tetapi jika tidak dikendalikan, bisa merusak interaksi keluarga. Kita sering melihat anak sibuk dengan ponselnya, ayah membuka laptop kerja, ibu menatap layar tablet—semua di meja makan, tapi tak ada yang saling berbicara.
Padahal dahulu, dalam budaya Sunda, dikenal tradisi makan bersama yang disebut "papahare": makan ramai-ramai dari satu nampan atau daun besar. Semua duduk setara, menikmati hidangan bersama-sama, dalam suasana hangat penuh canda dan keakraban. Tradisi ini bukan hanya menyatukan perut, tapi juga hati.
Kini, tradisi seperti itu nyaris hilang, tergantikan oleh gaya hidup modern yang serba individual dan tergesa-gesa. Padahal, papahare sejalan dengan ajaran Islam tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan keberkahan dalam makan.
Mengembalikan Makna Makan dalam Islam
Sudah saatnya kita kembali memaknai makan bukan sekadar rutinitas, tapi:
- Sebagai ibadah yang diawali dengan niat dan adab.
- Sebagai bentuk syukur atas rezeki yang Allah beri.
- Sebagai sarana memperkuat keluarga, lewat peran istri yang memasak dan momen makan bersama.
- Sebagai ruang pendidikan dan kasih sayang, bukan hanya konsumsi fisik.
Karena sejatinya, yang membedakan seorang Muslim dari makhluk lainnya bukan pada apa yang dimakan, tapi memperhatikan apa yang dimakan, darimana asalnya dan untuk apa ia makan.
Wallahu a'lam
Abu Roja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar