Iman adalah fondasi kehidupan seorang Muslim. Ia bukan sekadar keyakinan batin, tetapi kekuatan ruhani yang membentuk cara pandang, menentukan pilihan, dan mengarahkan tindakan. Dalam sebuah sabda yang menggugah, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah rasa malu, dan buahnya adalah ilmu.”(HR. Hakim dan Baihaqi)
Sabda ini menegaskan bahwa iman bukanlah sesuatu yang statis. Ia seperti benih—perlu ditanam, dirawat, dijaga, dan dipanen. Dan proses menumbuhkan iman itu tidak datang dari luar semata, tetapi harus tumbuh dari dalam diri: melalui perenungan, pengamatan, dan pendalaman yang jujur terhadap kehidupan dan kebenaran.
Iman: Benih Kehidupan yang Harus Dirawat
Iman, sebagaimana benih, tidak cukup hanya dimiliki. Ia harus ditumbuhkan dalam kesadaran. Banyak orang memiliki benih iman—yakni keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya—namun tidak semua berhasil merawatnya menjadi pohon amal yang kuat.
Seperti petani yang tidak cukup hanya menabur benih, tetapi harus menyiram, menyiangi, dan melindungi dari hama, menumbuhkan iman juga butuh usaha berkelanjutan. Dan usaha ini bukan sekadar ritual, tetapi juga intelektual dan spiritual: berpikir, merasa, dan menyadari.
Tafakur: Menyuburkan Iman dari Dalam Diri
Salah satu cara paling dalam untuk menumbuhkan iman adalah tafakur merenung tentang ayat-ayat afakiyah, yakni tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbentang di langit dan bumi. Alam semesta bukan hanya objek sains, tetapi juga ayat-ayat yang berbicara kepada akal dan hati manusia:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal...” (QS. Ali ‘Imran: 190)
Merenungi perputaran matahari, keseimbangan alam, dan keteraturan makhluk adalah cara menyadari kebesaran Allah dan memupuk iman yang dalam. Tafakur mengubah kekaguman menjadi keimanan, mengarahkan logika kepada ketundukan.
Tanzhurun: Belajar dari Sejarah dan Umat Terdahulu
Selain alam, sejarah manusia juga menjadi ladang iman. Allah sering mengingatkan manusia agar tanzhurun—memperhatikan perjalanan umat-umat terdahulu:
“Maka tidakkah mereka bepergian di bumi lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?”(QS. Yusuf: 109)
Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tapi cermin bagi jiwa dan pelajaran bagi iman. Bangsa yang sombong dan lalai, meskipun kuat secara lahir, binasa karena mengingkari kebenaran. Ini menumbuhkan kesadaran bahwa iman adalah perlindungan dan penyelamat peradaban.
Tadabbur: Meneguhkan Iman dengan Al-Haq
Semua tafakur dan renungan akan berujung pada tadabbur—pendalaman makna Al-Qur’an sebagai wahyu al-haq, penegas dan petunjuk atas realitas alam dan sejarah. Al-Qur’an mengonfirmasi bahwa iman bukan ilusi batin, tetapi puncak kesadaran ruhani yang berpijak pada kenyataan.
Tadabbur bukan hanya membaca, tapi memahami dan mengamalkan. Ia adalah proses yang mengikat hati kepada Allah dan meneguhkan iman sebagai cahaya dalam jiwa.
“Dan apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an?” (QS. Muhammad: 24)
Melalui tadabbur, seseorang menyatukan ayat-ayat kauniyah (alam), ayat tarikhiyah (sejarah), dan ayat Qur’aniyah (wahyu), menjadi satu kesatuan iman yang kuat, hidup, dan mengakar.
Taqwa: Pakaian dan Pelindung Iman
Sebagaimana petani menutup tanaman mudanya dari cuaca yang membahayakan, iman pun perlu pakaian yang melindunginya: yaitu taqwa.
Allah berfirman:
“Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.”(QS. Al-A’raf: 26)
Taqwa adalah sikap waspada ruhani yang menjaga iman dari penyakit seperti riya, ujub, dan hawa nafsu. Ia bukan sekadar rasa takut, tetapi komitmen untuk hidup di bawah naungan perintah dan larangan Allah.
Abawāhu: Tanah Subur Iman dalam Keluarga dan Lingkungan
Dalam sabda lain, Nabi ﷺ bersabda:
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah (abawāhu) yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."(HR. Bukhari dan Muslim)
Fitrah iman membutuhkan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh. Keluarga Islami, teman yang shaleh, dan masyarakat yang mendorong kebaikan adalah tanah subur bagi benih iman.
Lingkungan yang buruk tidak serta-merta mematikan iman, tetapi hampir selalu melemahkannya. Maka, siapa yang ingin menumbuhkan iman harus juga berusaha menciptakan dan memilih lingkungan yang membantunya.
Panen Iman: Buah Dunia dan Akhirat
Petani tidak menanti hasil instan. Ia bersabar hingga panen tiba. Demikian pula orang yang menumbuhkan iman: buahnya adalah ketenangan hati, kelapangan dalam musibah, kekuatan dalam perjuangan, dan keselamatan di akhirat.
Iman yang sehat melahirkan manusia yang sabar, santun, jujur, dan kokoh—seperti pohon yang rindang: akarnya menghujam, batangnya kokoh, dan buahnya bermanfaat bagi sekitarnya.
Merawat Iman Sepanjang Hayat
Menumbuhkan iman adalah proyek seumur hidup. Seperti ladang yang tak pernah bisa ditinggalkan, iman pun harus terus disiram dengan tafakur, dipupuk dengan tadabbur, dijaga dengan taqwa, dan ditumbuhkan dalam lingkungan yang sehat.
Dengan hati yang merenung (tafakur), akal yang memperhatikan sejarah (tanzhurun), jiwa yang mendalami wahyu (tadabbur), dan keluarga yang membimbing (abawāhu)—iman akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh, menghasilkan buah yang menyejukkan diri dan memberi manfaat bagi sesama.
Wallahu 'alam
Abu Roja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar