Mengambil Makna Istilah Sejarah dalam Al-Qur'an: An-Naba’ dan Al-Qashash
Di tengah modernitas yang menggilas ingatan kolektif, sejarah seringkali dipandang hanya sebagai mata pelajaran. Ia menjadi hafalan tanpa makna, deretan tanggal dan nama yang lepas dari relevansi. Sebagian orang ingin melupakannya karena terlalu banyak luka. Sebagian lagi tak pernah menganggapnya penting, seolah apa yang terjadi kemarin tidak akan pernah terulang hari ini. Lebih tragis lagi, sejarah dianggap netral, tanpa hubungan dengan iman, ideologi, ataupun arah perjuangan umat.
Namun, Al-Qur’an membongkar cara pandang itu. Kitab suci ini bukan buku sejarah dalam pengertian akademik. Ia tidak menyusun kronologi panjang umat manusia seperti sejarawan. Tetapi apa yang ia sebut, ia sampaikan, dan ia ajarkan—semua adalah kebenaran yang hakiki. Ia bukan fiksi, bukan narasi dongeng, bukan opini sepihak. Ia adalah wahyu dari Zat yang Maha Mengetahui segala hal, dari awal penciptaan hingga hari pembalasan. Sejarah dalam Al-Qur’an adalah jalan hidup, cermin makna, dan petunjuk zaman.
Dua istilah dalam Al-Qur’an membuka pintu pemahaman kita tentang hal ini: An-Naba’ dan Al-Qashash.
An-Naba’: Melampaui Waktu, Mencakup Zaman
Secara bahasa, an-naba’ berarti "berita besar". Dalam konteks Qur’ani, ia sering merujuk pada kabar tentang hari kebangkitan, akhirat, dan perhitungan amal. Namun lebih dari itu, an-naba’ memuat cara pandang ilahiah terhadap sejarah sebagai satu kesatuan utuh: masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Al-Qur’an mengajak manusia menyadari bahwa sejarah tidak berdiri sendiri. Masa lalu bukan hanya catatan, ia adalah sebab dari masa kini. Masa kini bukan ruang bebas, ia adalah kelanjutan dari alur nilai dan peristiwa. Dan masa depan bukan misteri buta, ia dapat diarahkan melalui pelajaran hari ini.
Dalam kerangka an-naba’, sejarah menjadi berita penting yang memuat peringatan dan ibrah. Ia memberi orientasi: siapa kita, dari mana kita berasal, ke mana kita menuju, dan untuk apa kita hidup. Maka sejarah bukan hanya memuat apa yang telah terjadi, tapi juga menyusun makna hidup manusia.
Al-Qashash: Kisah Perjuangan Kebenaran dan Sunnatullah Kehidupan
Jika an-naba’ memberi cakupan luas lintas waktu, maka al-qashash memberi fokus pada narasi nyata umat terdahulu khususnya para nabi dan umat yang mereka hadapi. Ini bukan kisah fiksi. Ini adalah sejarah konkret. Al-Qur’an menyebutnya sebagai "ahsanal qashash", kisah terbaik, karena memuat makna hidup yang paling tinggi: perjuangan al-Haq melawan al-Bathil.
Kisah Musa dan Fir’aun, misalnya, bukan hanya soal penindasan dan pembebasan. Ia adalah pelajaran ideologis, politik, ekonomi, budaya, dan spiritualitas. Ia menunjukkan:
- bagaimana sistem zalim dibangun dan dipertahankan,
- bagaimana masyarakat dijauhkan dari tauhid melalui propaganda dan sihir kekuasaan,
- bagaimana Allah menegakkan sunnatullah dalam sejarah: bahwa kebatilan sebesar apapun, jika berhadapan dengan iman yang teguh, akan binasa pada waktunya.
Al-Qashash mengajarkan kita bahwa sejarah para nabi bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk diteruskan. Jalan mereka adalah jalan kita. Sunnatullah yang mereka alami, adalah hukum yang juga akan kita temui.
Memulihkan Cara Pandang terhadap Sejarah
Kesalahan dalam memahami sejarah seringkali bersumber dari keterputusan manusia dari makna wahyu. Sejarah dianggap mati, kaku, dan netral. Padahal dalam pandangan Qur’ani, sejarah adalah sumber hikmah dan bahan renungan, tempat manusia membaca jejak dirinya, bangsanya, dan peradabannya.
Sejarah dalam Al-Qur’an bukan hanya cerita, tapi jalan perjuangan yang masih terbuka. Ia bukan nostalgia, tapi tanggung jawab. Dan tak ada ibrah tanpa keterlibatan akal dan jiwa. Itulah sebabnya ayat-ayat kisah selalu ditutup dengan seruan kepada "ulul albab", "kaum yang berakal", "orang-orang yang mengambil pelajaran".
Sejarah: Jalan Terbuka untuk Mereka yang Mau Membaca
Dari an-naba’, kita belajar untuk melihat sejarah sebagai rangkaian nilai dan arah hidup manusia dalam skala besar, hingga ke akhirat. Dari al-qashash, kita belajar bahwa sejarah adalah ladang perjuangan, penuh pengorbanan dan sunnatullah, yang akan terus berulang dengan wajah-wajah baru.
Al-Qur’an tidak pernah menyuruh kita hidup di masa lalu. Tapi ia memerintahkan kita untuk membaca masa lalu, agar tidak buta hari ini dan tidak terjatuh di lubang yang sama esok hari.
Maka, sejarah dalam pandangan wahyu bukan untuk dibicarakan sambil lalu. Ia adalah bagian dari iman, dan cahaya bagi perjuangan. Siapa yang melupakannya, akan kehilangan arah. Siapa yang memahaminya, akan mampu menempatkan dirinya sebagai mata rantai dari sebuah misi yang agung: misi kenabian.
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat ibrah bagi orang-orang yang berakal." (QS. Yusuf: 111)
Wallahu 'alam
Abu Roja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar