Hikmah, Hakikat dan Kedudukan Saum Arafah
Setiap ibadah dalam Islam bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan jendela untuk menyelami makna hidup dan menjalin perjumpaan batiniah dengan Allah Swt. Di antara ibadah yang sarat nilai ruhani adalah saum Arafah puasa yang disunnahkan pada 9 Dzulhijjah, sehari sebelum Idul Adha. Ia bukan sekadar amalan sunah, tetapi simpul spiritual yang menghubungkan kita dengan momen agung di Padang Arafah tempat jutaan jamaah haji berkumpul dalam puncak ibadah mereka.
Saum Arafah memiliki kedudukan yang agung. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. (HR. Muslim)
Namun, puasa ini bukan sekadar sarana mengejar pahala, melainkan ruang penyadaran diri yang dalam. Ia menyimpan tiga lapis kedalaman: sebagai bentuk solidaritas ruhani, sarana ma‘rifah yang menyucikan jiwa, dan simpul perjuangan peradaban tauhid.
Pertama, saum Arafah adalah solidaritas ruhani dengan para jamaah haji. Saat mereka berwukuf di Arafah berdiri, berdoa, dan memohon ampunan—kaum Muslimin yang tidak berhaji berpuasa sebagai bentuk penyatuan hati dalam momentum pengampunan universal. Ia adalah bahasa spiritual yang menyatukan yang hadir secara fisik dan yang hadir dengan jiwa.
Kedua, hakikat saum Arafah adalah latihan ma‘rifah mengenal Allah secara lebih dalam dan eksistensial. Ma‘rifah bukan semata pengetahuan kognitif, tetapi penyadaran ruhani akan kehadiran dan kemahakuasaan Allah sebagai Rabb, Malik, dan Ilah.
Sebagai Rabb, Allah adalah Pemelihara segala urusan hidup. Maka saum Arafah menanamkan rasa bergantung total kepada-Nya.
Sebagai Malik, Dia adalah Pemilik mutlak kehidupan dan kematian. Maka puasa ini mengingatkan bahwa dunia bukan milik kita, dan kita bukan siapa-siapa tanpa izin-Nya.
Sebagai Ilah, hanya Dia yang berhak disembah. Maka saum ini mendidik jiwa agar tak diperbudak oleh nafsu, dunia, atau selain-Nya.
Dalam kesunyian puasa dan penahanan diri, ruang kontemplasi terbuka. Perut yang kosong dan syahwat yang ditahan menjadikan suara langit lebih mudah terdengar. Jiwa pun lebih jujur mengakui kelemahannya dan lebih siap menerima cahaya ma‘rifah.
Ketiga, saum Arafah bukan hanya ibadah personal, melainkan bagian dari peta besar sejarah Islam. Ia berpuncak pada khutbah Arafah dalam Haji Wada’ khutbah monumental Rasulullah ﷺ yang menjadi deklarasi misi umat hingga akhir zaman. Khutbah ini tidak bisa dipisahkan dari peristiwa Futuh Makkah saat kota suci dibebaskan dari belenggu jahiliah. Maka saum Arafah, khutbah Arafah, dan futuh Makkah adalah mata rantai dari proyek peradaban tauhid.
Dalam khutbahnya, Rasulullah ﷺ bersabda:"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci, sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini, dan negeri ini...
Semua perkara jahiliah telah dihapus di bawah kedua telapak kakiku...
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita...
Aku tinggalkan bagi kalian dua hal; kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya..."
"Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Boleh jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari yang mendengar langsung."
Khutbah ini bukan sekadar petuah spiritual, melainkan amanat strategis risalah kenabian. Ia adalah blueprint peradaban Islam—dibangun di atas fondasi tauhid, keadilan, penghormatan terhadap manusia, dan komitmen kepada wahyu. Wukuf di Arafah adalah syura ruhani dan konferensi global umat dalam bingkai penghambaan. Sedangkan saum Arafah adalah simpul batin yang menyambungkan kita dengan momen tersebut, meski raga kita tak hadir di sana.
Futuh Makkah membuka gerbang kekuasaan. Arafah merumuskan arah peradaban. Dan khutbah Rasulullah ﷺ menjadi konstitusi dakwah yang diwariskan lintas generasi.
Idealnya, para haji yang kembali ke tanah air bukan hanya membawa oleh-oleh dan kenangan spiritual, tapi membawa amanat dakwah. Mereka hadir di tempat khutbah itu dikumandangkan. Maka seyogianya mereka menjadi penyambung risalah Rasulullah ﷺ menyeru tauhid, menegakkan keadilan, dan membangun tatanan umat.
Haji bukan sekadar ibadah individual, melainkan bekal perjuangan kolektif. Setiap jamaah haji adalah duta Arafah, penyambung khutbah Nabi, dan pembawa proyek langit di bumi. Sungguh merugi jika haji hanya menjadi gelar, bukan tekad mentegakkan Din dan membangun umat.
Di tengah dunia yang bising dan penuh ilusi, saum Arafah adalah momen jeda perenungan jiwa pada waktu untuk bertanya pada diri: Apakah aku sedang mendekat kepada Allah atau menjauh dari-Nya? Ia menjadi ruang perenungan, penyucian, dan persiapan untuk menyambut Idul Adha hari raya pengorbanan.
Ia juga mengingatkan kita pada keteladanan Ibrahim dan Ismail, bahwa iman sejati berarti kesiapan untuk tunduk dan berkorban. Maka saum Arafah bukan hanya latihan menahan lapar, tetapi upaya menumbuhkan itsar yaitu mendahulukan kehendak Allah atas keinginan diri.
Akhirnya, siapa pun yang beriman dan mampu, jangan lewatkan saum Arafah. Ia bukan sekadar peluang diampuni dosa, tetapi medan latihan ma‘rifah, penyambung khutbah Nabi, dan tanda kesungguhan kita menapaki jalan menuju Allah. Saum ini adalah simpul spiritual dalam peta risalah Islam ibadah sunyi yang menyatukan kita dengan cahaya tauhid dan misi kenabian yang terus hidup.
Wallahu 'alam
Abu Roja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar