Di tengah maraknya simbolisasi agama dalam ruang publik dan kehidupan sosial, muncul pertanyaan mendasar: Apakah keberislaman kita telah menyentuh substansi, atau sekadar berhenti pada permukaan? Islam, dalam hakikatnya, bukan hanya tentang apa yang tampak, tetapi tentang bagaimana kita hidup secara menyeluruh sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah. Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, dia musuh yang nyata bagi kalian."(QS. 2: 208)
Ayat ini adalah seruan keras sekaligus ajakan halus untuk meninggalkan keberislaman yang parsial yang hanya dipakai saat nyaman, dimanfaatkan saat butuh, atau dihidupkan dalam perayaan semata. Islam bukan tempelan identitas, bukan simbol politik, bukan komoditas ekonomi, bukan pula warisan budaya. Islam adalah jalan hidup total dan menyeluruh.
Islam Identitas: Ketika Label Menggantikan Substansi
Banyak yang menyandang nama Islam, namun tak mengenal siapa Allah yang disembah. Nama-nama Islami, gelar-gelar agamis, pakaian syar’i, kadang hanya berfungsi sebagai penanda sosial, bukan penunjuk jalan hidup. Islam identitas dapat memperkuat komunitas, namun juga bisa menjadi jebakan ego kolektif jika tidak ditopang ilmu dan amal. Identitas yang tidak berisi nilai akan mudah dimanipulasi dan diperjualbelikan.
Islam Ritual: Gerak Tanpa Jiwa
Ritual Islam seperti shalat dan puasa adalah kewajiban utama. Namun, Islam bukan hanya soal rukuk dan sujud, tetapi juga kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. Ketika ritual kehilangan maknanya, ia berubah menjadi rutinitas kosong. Sejarah Nabi menunjukkan bahwa shalat membentuk pribadi jujur dan amanah, bukan sekadar formalitas.
Rasulullah ﷺ tidak hanya mendirikan shalat, tetapi mengajarkan bahwa shalat yang benar mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Islam Politik: Kuasa atau Dakwah?
Ada yang mengibarkan panji Islam untuk merebut kekuasaan. Namun, yang diperjuangkan seringkali bukan syariat, melainkan kursi. Rasulullah ﷺ mendirikan negara di Madinah bukan demi kekuasaan, tapi untuk menegakkan keadilan dan menyelamatkan manusia. Politik dalam Islam adalah sarana dakwah, bukan alat ambisi.
"Sungguh, pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kalian..."(QS. 33: 21)
Beliau adalah pemimpin yang menangis di malam hari dan berjuang di siang hari. Kuasa baginya adalah amanah, bukan kemewahan.
Islam Fulusiyah: Agama Dijual Murah
Simbol Islam kini menjadi alat dagang: makanan halal, busana syar’i, wisata religi, hingga konten dakwah yang dimonetisasi. Memang, tidak salah mengambil manfaat dunia dari nilai Islam, selama tidak mencemari keikhlasan. Tapi jika “syariah” hanya jadi stiker pemikat pasar, sementara perilakunya jauh dari kejujuran, maka itu adalah bentuk eksploitasi terhadap kesucian agama.
Islam Keturunan: Warisan Tanpa Pemahaman.
Banyak Muslim lahir dalam keluarga Islam, tetapi tidak memahami Islam yang mereka warisi. Mereka Muslim secara administratif, tapi belum tentu secara ideologis dan moral. Keimanan tidak diturunkan, ia ditumbuhkan. Nabi ﷺ sendiri tidak diwariskan Islam oleh keluarganya, tetapi mencarinya lewat kebenaran dan wahyu.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah."(QS. 2: 218)
Artinya, iman menuntut pembuktian, bukan sekadar status.
Islam Seremonial: Ramai Tapi Sepi Makna
Kegiatan Islam seremonial seperti Maulid, buka puasa bersama, dan perayaan hari besar, sering menjadi tradisi tahunan yang meriah. Namun, apakah semua itu membentuk akhlak dan menghidupkan iman? Ataukah hanya menjadi perayaan kosong yang tidak berdampak pada moral? Nabi Muhammad ﷺ tidak sibuk membesarkan acara, tapi membesarkan jiwa manusia.
Meneladani Nabi: Tafsir Hidup dari Wahyu
Jika Al-Qur’an adalah teks suci, maka kehidupan Rasulullah ﷺ adalah tafsir aplikatifnya. Ia tidak hanya mengajarkan Islam, tetapi menjalaninya dalam semua dimensi kehidupan: sebagai suami, pedagang, pemimpin, dan pejuang. Maka untuk memahami Islam secara kaffah, kita harus membaca bukan hanya kitab suci, tetapi juga sirah Nabi. Tanpa itu, kita akan mudah tersesat dalam Islam versi kita sendiri yang mungkin hanya menuhankan simbol, bukan nilai.
Penutup : Menuju Islam yang Hidup
Kita hidup di zaman di mana agama mudah digunakan untuk segalanya kecuali untuk menyelamatkan manusia. Islam kaffah bukan tentang ekstremisme, bukan juga tentang ritualisme, tapi tentang keseimbangan iman, amal, dan akhlak.
Mari kita kembali pada Islam sebagaimana yang diajarkan Nabi ﷺ—Islam yang tidak hanya dipakai, tetapi dihayati; tidak hanya dirayakan, tapi diperjuangkan; tidak hanya dikutip, tapi dijalani.
Islam bukan milik siapa-siapa. Ia adalah jalan hidup yang diberikan Allah untuk membimbing siapa saja yang bersedia tunduk secara utuh tanpa syarat, tanpa syarat, tanpa tapi
Wallahu 'alam
Abu Roja
Islam milik mereka yang dipilih dan terpilih (Mujtaba qs. 22: 78)
BalasHapus