Di tengah gelombang zaman yang penuh ambisi, kebingungan, dan kekosongan makna, manusia sering kali tersesat dari satu pencarian ke pencarian lain, tanpa pernah benar-benar mengenal siapa dirinya. Padahal, dari satu qira’ah yang jernih yakni membaca dan merenungkan hakikat diri dan kehidupan manusia akan tiba pada satu titik terang ia adalah “Makhluk”, ciptaan Allah “Al-Khaliq”. Kesadaran ini bukan sekadar informasi keagamaan, melainkan bagian dari Narasi Agung, yang sakral dan transenden, tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali.
Allah sebagai Al-Khaliq:Asal Usul dan Arah Tujuan
Dalam Al-Qur'an, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai “Al-Khaliq”
Pencipta segala yang ada. Ia menciptakan manusia bukan tanpa maksud, tapi
dengan tujuan yang luhur:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembahKu.”(Qs. 51: 56)
Manusia diciptakan untuk mengenal, menyembah, dan hidup dalam
keterikatan spiritual kepada Tuhannya. Dari kesadaran ini, tumbuh “Taslim” yakni
ketundukan dan kepasrahan terhadap kehendak Allah. “Taslim” bukan bentuk
kelemahan, tetapi pengakuan jujur dan utuh bahwa kita tidak memiliki apa-apa
selain dari yang telah Allah titipkan. “Taslim” menerima,
menyerah, tunduk dan patuh terhadap-Nya, “Taslim” adalah Sikap yang lahir
dan tumbuh dari dasar pemahaman seseorang terhadap status diri yang serba doif
dan bergantung. Tidak memiliki kekuatan dan kemampuan, tidak bisa hidup berdiri
sendiri, serta fakir dihadapan Allah yang maha Alim,
maha kuasa dan maha besar, sehingga seluruh eksistensi dirinya sangatlah
bergantung sepenuhnya kepada Alloh dalam seluruh hidup dan kehidupan. Qs:6: 71-72
Ma‘rifatullah:Jalan Menuju Ketauhidan
Kesadaran sebagai makhluk akan menemukan bentuk terdalamnya ketika
seseorang menempuh jalan “Ma‘rifatullah” mengenal Allah secara hakiki,
bukan sekadar mengenal nama-Nya, tetapi memahami sifat, kehendak, dan kasih
sayang-Nya melalui perenungan ayat-ayat kauniyah dan qauliyah.
Melalui “Ma‘rifatullah”, akan tumbuh akar kokoh dalam diri
manusia: Aqidah Tauhid pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Zat yang
berhak disembah dan menjadi "Pusat" ketergantungan. Dari “Tauhid” ini akan
lahir sikap: Iman Yang Hidup, bukan hanya dalam keyakinan, tapi
juga dalam tindakan: bertakwa dalam ketaatan, bersabar dalam ujian, dan
bertawakal dalam segala urusan.
Keteladanan Nabi Ismail:Taslim dalam Iman dan Tawakal
Kisah Nabi Ismail ‘alaihis salam menjadi teladan abadi dalam bagaimana seorang makhluk menampakkan “Taslim” sejati kepada "Al-Khaliq". Ketika ayahnya, Nabi Ibrahim, mendapat perintah untuk menyembelihnya, Ismail tidak memberontak. Ia tidak bertanya mengapa. Ia tidak lari. Ia menjawab dengan kalimat yang menunjukkan betapa dalamnya “Iman” dan “Tauhid” yang tertanam melalui “ma‘rifatullah”:
"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu.
Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."(Qs.
37: 102)
Sikap Nabi Ismail menunjukkan bahwa seorang makhluk yang telah
mengenal Tuhannya tidak lagi takut kehilangan dunia. Ia tahu, yang paling
penting bukan mempertahankan hidup, tapi tunduk pada kehendak-Nya. Inilah
puncak dari “Taslim” pasrah yang bukan putus asa, tapi penuh “Iman”.
Dari Kesadaran sebagai Makhluk:Menuju Pertanggungjawaban
Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah makhluk, dan
bahwa hidup ini adalah ladang ujian, ia akan hidup dengan arah dan tanggung
jawab. Ia tidak lagi mengandalkan egonya, tapi menggantungkan hati kepada
Allah. Ia tahu bahwa dunia bukan tujuan, melainkan tempat berlalu. Dan pada
akhirnya, ia akan kembali kepada Al-Khāliq untuk mempertanggungjawabkan
hidupnya.
“Dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.(Qs. 39: 44)
Kesadaran ini melahirkan kewaspadaan moral, pengendalian diri, dan
kehati-hatian dalam melangkah. Ia tidak berani melalaikan hidup, karena sadar
bahwa setiap detik adalah amanah, dan setiap amal akan dibuka pada Hari
Pengadilan.
Kesadaran Sakral dan
Transenden:Hidup dalam Kehendak Sang Pencipta
Sebagai bagian dari “Narasi
Agung” itu, hidup manusia menjadi “sakral” dan “transenden”.
Setiap langkah, pilihan, dan pengalaman, bukan sekadar peristiwa duniawi,
tetapi bagian dari perjalanan menuju perjumpaan kembali dengan Sang Al-Khaliq.
Hidup menjadi ladang ujian, tempat manusia menunjukkan sejauh mana ia mengenal,
mencintai, dan tunduk kepada Tuhannya.
Dalam sakralitas dan transendensi ini lahir sikap “Taslīm” ketundukan dan kepasrahan. Manusia menerima bahwa dirinya terbatas, bahwa ia tidak bisa mengendalikan segala hal, dan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa penuh atas hidup dan kematian. Tapi dari keterbatasan itulah tumbuh kekuatan "kekuatan untuk bertawakal, bersabar, dan terus berharap kepada-Nya".
Wallahu ‘alam
Abu Roja