Senin, 30 Juni 2025

Qira’ah Kehidupan: Kesadaran Sebagai Makhluk dalam Narasi Agung Al-Khaliq

Di tengah gelombang zaman yang penuh ambisi, kebingungan, dan kekosongan makna, manusia sering kali tersesat dari satu pencarian ke pencarian lain, tanpa pernah benar-benar mengenal siapa dirinya. Padahal, dari satu qira’ah yang jernih yakni membaca dan merenungkan hakikat diri dan kehidupan manusia akan tiba pada satu titik terang ia adalah “Makhluk”, ciptaan Allah “Al-Khaliq”. Kesadaran ini bukan sekadar informasi keagamaan, melainkan bagian dari Narasi Agung, yang sakral dan transenden, tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali.


Allah sebagai Al-Khaliq:Asal Usul dan Arah Tujuan

Dalam Al-Qur'an, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai “Al-Khaliq” Pencipta segala yang ada. Ia menciptakan manusia bukan tanpa maksud, tapi dengan tujuan yang luhur:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.”(Qs. 51: 56)

Manusia diciptakan untuk mengenal, menyembah, dan hidup dalam keterikatan spiritual kepada Tuhannya. Dari kesadaran ini, tumbuh “Taslim” yakni ketundukan dan kepasrahan terhadap kehendak Allah. “Taslim” bukan bentuk kelemahan, tetapi pengakuan jujur dan utuh bahwa kita tidak memiliki apa-apa selain dari yang telah Allah titipkan. “Taslim” menerima, menyerah, tunduk dan patuh terhadap-Nya, “Taslim” adalah Sikap yang lahir dan tumbuh dari dasar pemahaman seseorang terhadap status diri yang serba doif dan bergantung. Tidak memiliki kekuatan dan kemampuan, tidak bisa hidup berdiri sendiri, serta fakir dihadapan Allah yang maha Alim, maha kuasa dan maha besar, sehingga seluruh eksistensi dirinya sangatlah bergantung sepenuhnya kepada Alloh dalam seluruh hidup dan kehidupan. Qs:6: 71-72

 

Ma‘rifatullah:Jalan Menuju Ketauhidan

Kesadaran sebagai makhluk akan menemukan bentuk terdalamnya ketika seseorang menempuh jalan “Ma‘rifatullah” mengenal Allah secara hakiki, bukan sekadar mengenal nama-Nya, tetapi memahami sifat, kehendak, dan kasih sayang-Nya melalui perenungan ayat-ayat kauniyah dan qauliyah.

Melalui “Ma‘rifatullah”, akan tumbuh akar kokoh dalam diri manusia: Aqidah Tauhid pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Zat yang berhak disembah dan menjadi "Pusat" ketergantungan. Dari “Tauhid” ini akan lahir sikap: Iman Yang Hidup, bukan hanya dalam keyakinan, tapi juga dalam tindakan: bertakwa dalam ketaatan, bersabar dalam ujian, dan bertawakal dalam segala urusan.

 

Keteladanan Nabi Ismail:Taslim dalam Iman dan Tawakal

Kisah Nabi Ismail ‘alaihis salam menjadi teladan abadi dalam bagaimana seorang makhluk menampakkan “Taslim” sejati kepada "Al-Khaliq". Ketika ayahnya, Nabi Ibrahim, mendapat perintah untuk menyembelihnya, Ismail tidak memberontak. Ia tidak bertanya mengapa. Ia tidak lari. Ia menjawab dengan kalimat yang menunjukkan betapa dalamnya “Iman” dan “Tauhid” yang tertanam melalui “ma‘rifatullah”:

"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."(Qs. 37: 102)

Sikap Nabi Ismail menunjukkan bahwa seorang makhluk yang telah mengenal Tuhannya tidak lagi takut kehilangan dunia. Ia tahu, yang paling penting bukan mempertahankan hidup, tapi tunduk pada kehendak-Nya. Inilah puncak dari “Taslim” pasrah yang bukan putus asa, tapi penuh “Iman”.

 

Dari Kesadaran sebagai Makhluk:Menuju Pertanggungjawaban

Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah makhluk, dan bahwa hidup ini adalah ladang ujian, ia akan hidup dengan arah dan tanggung jawab. Ia tidak lagi mengandalkan egonya, tapi menggantungkan hati kepada Allah. Ia tahu bahwa dunia bukan tujuan, melainkan tempat berlalu. Dan pada akhirnya, ia akan kembali kepada Al-Khāliq untuk mempertanggungjawabkan hidupnya.

“Dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.(Qs. 39: 44)

Kesadaran ini melahirkan kewaspadaan moral, pengendalian diri, dan kehati-hatian dalam melangkah. Ia tidak berani melalaikan hidup, karena sadar bahwa setiap detik adalah amanah, dan setiap amal akan dibuka pada Hari Pengadilan.

 

Kesadaran Sakral dan Transenden:Hidup dalam Kehendak Sang Pencipta

Sebagai bagian dari “Narasi Agung” itu, hidup manusia menjadi “sakral” dan “transenden”. Setiap langkah, pilihan, dan pengalaman, bukan sekadar peristiwa duniawi, tetapi bagian dari perjalanan menuju perjumpaan kembali dengan Sang Al-Khaliq. Hidup menjadi ladang ujian, tempat manusia menunjukkan sejauh mana ia mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Tuhannya.

Dalam sakralitas dan transendensi ini lahir sikap “Taslīm ketundukan dan kepasrahan. Manusia menerima bahwa dirinya terbatas, bahwa ia tidak bisa mengendalikan segala hal, dan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa penuh atas hidup dan kematian. Tapi dari keterbatasan itulah tumbuh kekuatan "kekuatan untuk bertawakal, bersabar, dan terus berharap kepada-Nya".


Wallahu ‘alam

Abu Roja

Kamis, 26 Juni 2025

Sabar: Kunci Resiliensi dan Survival Seorang Muslim

"Sabar". Satu kata sederhana yang mengandung kekuatan luar biasa dalam hidup seorang Muslim. Dalam Islam, sabar bukan hanya soal menahan diri tapi merupakan energi jiwa yang melahirkan dua karakter penting: resiliensi dan survival (ketahanan)

Dua istilah ini banyak digunakan dalam dunia psikologi. Tapi sesungguhnya, Islam telah lama mengajarkan maknanya melalui satu kata: "Sabar". Sabar bukan berarti diam, apalagi pasrah. Sabar adalah kekuatan yang tenang namun kokoh, yang membuat seorang Muslim tetap tegar di tengah badai kehidupan.

Sabar: Aktif, Bukan Pasif

Dalam Islam, sabar bukan tentang berdiam diri atau menerima keadaan tanpa usaha. Sabar justru berarti tetap teguh melangkah di jalan yang benar, walau penuh rintangan.


"Sabar" adalah perpaduan antara keteguhan hati dan ketekunan dalam usaha.

Ia bukan menunggu badai berlalu, tapi terus berjalan meski hujan belum reda. Sabar menjaga seorang Muslim tetap berada dalam garis syariat. Tidak goyah oleh godaan dunia, tidak runtuh oleh tekanan zaman. Karena ia tahu, sabar adalah bagian dari jihad sehari-hari sebagai "narasi kecil"


Survival: Bertahan dengan Iman

Kata "survival" sering diartikan sebagai kemampuan bertahan hidup dalam situasi genting. Namun bagi seorang Muslim, survival bukan hanya bertahan secara fisik. Ia adalah kekuatan untuk menjaga iman di tengah krisis.

Contohnya?

Tetap shalat meski hidup sedang sulit,Tetap jujur walau ada risiko,Tetap berbuat baik meski tak dihargai.Itulah bentuk survival dalam Islam: bertahan hidup dalam nilai-nilai kebaikan dan tauhid, meski keadaan tidak bersahabat.


Resiliensi: Bangkit dan Tumbuh Kembali

Kalau "survival" adalah bertahan, maka "resiliensi" adalah kemampuan untuk bangkit setelah terjatuh. Bukan hanya kuat, tapi juga bisa belajar dari luka, dan tumbuh lebih baik.

Dalam Islam, "Resiliensi" adalah sabar yang tumbuh menjadi kekuatan.


Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh resiliensi sejati. Pernah ditolak, dihina, bahkan disakiti. Tapi beliau tidak menyerah. Beliau bangkit, dan dari penderitaan itulah lahir peradaban Islam yang penuh cahaya.


Sabar: Jalan Menuju Jiwa yang Dewasa

Sabar, survival, dan resiliensi bukan tujuan akhir. Mereka adalah jalan menuju jiwa yang matang. Jiwa yang tidak mudah menyerah, tidak mudah mengeluh, dan yakin bahwa semua ada dalam kendali Allah.

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqarah: 153)

Ini bukan hanya janji penghiburan, tapi bukti bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya yang sabar


Sabar, Nafas Panjang Seorang Mukmin

Dalam hidup yang penuh tekanan, godaan, dan ketidakpastian, sabar bukan pilihan lemah tapi kekuatan sejati.

Sabar menumbuhkan ketahanan: kemampuan untuk tetap berdiri ketika hidup menghantam.

Sabar juga melahirkan resiliensi: kemampuan untuk bangkit, belajar, dan terus tumbuh.

Seorang mukmin tidak hanya sekadar hidup. Ia hidup dengan tujuan, bergerak dengan keyakinan, dan bertahan dengan sabar. Karena dalam jiwanya tertancap ideologi, hidupnya tidak hampa.

Ia tahu bahwa setiap luka ada maknanya, setiap air mata ada nilainya, dan setiap kesabaran akan dibalas oleh Allah dengan sesuatu yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.

Maka, jika hidup terasa berat, jangan mundur. Genggam sabarmu. Jadikan ia teman seperjalanan. Karena sabar bukan tentang menunggu akhir dari penderitaan. Tapi tentang menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih dalam, dan lebih dekat dengan Allah di tengah penderitaan itu sendiri.


Inilah kekuatan sejati seorang mukmin: Ia bertahan, ia bangkit, dan ia tumbuh.

Dan semuanya dimulai dari satu hal yang terlihat sederhana, tapi nilainya luar biasa di sisi Allah:  "Sabar".



_*Untuk kamu yang sedang diuji semoga tulisan ini menjadi penguat hati. Jangan lepas genggaman sabarmu, Karena Allah tidak penah jauh  dari hamba yang sabar*_


Wallahu a'lam

Abu Roja

1 Muharram: Bukan Sekadar Tahun Baru, Tapi Awal Revolusi Peradaban

Dalam sejarah umat Islam, 1 Muharram bukanlah sekadar angka pertama dalam sistem kalender. Ia adalah simbol perubahan besar, tonggak peradaban, dan titik balik perjuangan Rasulullah ﷺ dan umat Islam. Penetapan hijrah sebagai awal kalender Islam bukan keputusan administratif, melainkan refleksi dari revolusi total dalam hidup dan masyarakat. Hijrah bukan hanya perpindahan fisik dari Mekkah ke Madinah, tapi mencerminkan transformasi ideologis, spiritual, sosial, dan politik umat Islam.


Hijratul Fikri: Revolusi Pemikiran Sebagai Pondasi

Hijrah sejati dimulai dari perubahan cara berpikir. Inilah yang disebut dengan Hijratul Fikri hijrah pemikiran dari syirik menuju tauhid. Revolusi ini mengubah cara manusia memandang kehidupan: dari menyembah berhala dan mengagungkan adat jahiliyah, menuju tauhid yang memurnikan pengabdian hanya kepada Allah.

Rasulullah ﷺ pertama kali mengarahkan dakwahnya kepada akal dan hati. Ia mengajak manusia berpikir ulang tentang siapa pencipta, apa tujuan hidup, dan untuk siapa manusia hidup dan mati. Inilah landasan perubahan: perubahan visi hidup, dari dunia menuju akhirat, dari hawa nafsu menuju petunjuk wahyu.

Hijratul Ahwali: Perubahan Sikap dan Karakter

Revolusi pemikiran tidak berarti apa-apa tanpa perubahan perilaku. Maka tahap berikutnya adalah Hijratul Ahwali hijrah kondisi jiwa dan sikap hidup. Hijrah ini melahirkan keteguhan, ketabahan, dan pengorbanan. Bukti nyatanya tercermin dalam kisah Bilal bin Rabah, keluarga Yasir, dan para sahabat lain yang mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan akidah.

Hijratul Ahwali membentuk karakter umat yang tahan uji, siap berkorban, dan tidak tergoyahkan oleh tekanan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah lepas dari kungkungan mental jahiliyah mengganti rasa takut kepada manusia menjadi takut kepada Allah semata.

Hijrah Fardi: Komunitas Tauhid dalam Wadah Jamaah

Dari pribadi-pribadi yang berhijrah inilah kemudian terbentuk komunitas kecil jamaah awal yang berpusat di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam. Inilah bentuk awal Hijrah Fardi: hijrah secara personal yang terhimpun dalam barisan jamaah.

Darul Arqam bukan sekadar tempat belajar, melainkan basis awal gerakan perubahan. Di sanalah strategi disusun, iman diperkuat, dan komitmen terhadap risalah ditanamkan. Komunitas ini tidak tunduk pada struktur kekuasaan Mekkah. Mereka menanamkan identitas dan kesetiaan hanya pada Islam, bukan pada suku atau sistem politik Quraisy. Inilah bibit perlawanan ideologis terhadap sistem jahiliyah.

Dari Darul Arqam Menuju Aqabah: Dari Jamaah Menuju Negara

Hijrah dalam skala pribadi dan komunitas akhirnya melahirkan momentum besar: pertemuan Aqabah pertama dan kedua. Delegasi dari Yatsrib (Aus dan Khazraj) datang untuk berbaiat kepada Rasulullah ﷺ. Baiat pertama menyatakan keimanan; baiat kedua menegaskan ketaatan dan kesiapan jihad. Ini adalah ekspresi dari iman yang telah berhijrah, bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara sosial dan politik.

Dari Darul Arqam ke Aqabah, dari jamaah ke umat, dari umat ke negara. Maka Madinah lahir dari Mekkah, bukan secara fisik, tetapi secara ideologis. Negara Islam tidak dibentuk dari kudeta atau kekerasan, tetapi dari konsolidasi aqidah, komitmen syari’ah, dan kesadaran umat akan pentingnya kepemimpinan Islam (qiyadah).

Hijrah Melahirkan Furqon Peradaban

Hijrah kemudian melahirkan empat “furqon” pembeda utama dalam sejarah peradaban Islam:

Furqon Aqidah: menegaskan batas antara iman dan kufur.

Furqon Syari’ah: memisahkan hukum Allah dari hukum buatan manusia.

Furqon Ummat: membedakan umat tauhid dari komunitas jahiliyah.

Furqon Qiyadah: menetapkan bahwa hanya kepemimpinan Islam yang sah dalam mengatur umat.

1 Muharram: Ajakan untuk Hijrah Kaffah

Maka 1 Muharram bukanlah seremoni atau simbol budaya. Ia adalah ajakan—untuk berhijrah. Dari sistem hidup yang bertentangan dengan Islam menuju hidup yang selaras dengan syari’ah. Dari ketundukan pada sistem manusia menuju kepatuhan penuh pada hukum Allah.

Hijrah hari ini bukan harus meninggalkan negeri, tapi meninggalkan sistem, cara pandang, dan gaya hidup yang menjauhkan dari Islam. Hijrah hari ini berarti menghidupkan kembali visi Darul Arqam membangun komunitas yang siap melahirkan peradaban Islam di tengah dunia modern.

Menjadikan Hijrah Sebagai Gerakan

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu menetapkan hijrah sebagai awal penanggalan Islam karena hijrah adalah awal dari kemenangan hak atas batil, awal dari tatanan hidup Islam berdiri tegak.

Maka marilah kita menjadikan 1 Muharram sebagai titik tolak untuk hijrah fikri, ahwali, dan fardi, menuju Islam kaffah dalam naungan syari’ah dan kepemimpinan Islam. Karena hanya dengan hijrah yang menyeluruh, umat ini akan kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam.


Wallahu 'alam

Abu Roja

Rabu, 11 Juni 2025

Sejarah dan Kehidupan Hari Ini dalam Tinjauan Aqidah Islam

Dalam pandangan Islam, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sunnatullah—hukum Allah yang berlaku dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an sendiri banyak memuat kisah-kisah umat terdahulu, bukan untuk romantisme masa silam, tetapi sebagai ibrah (pelajaran) bagi generasi berikutnya. Di sinilah aqidah Islam berperan sebagai kacamata utama dalam memaknai sejarah dan kehidupan hari ini.

Aqidah Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah ujian. Sejarah manusia dari masa Nabi Adam hingga hari ini adalah rangkaian ujian terhadap keimanan, ketaatan, dan ketauhidan. Ketika umat berpegang teguh pada tauhid dan syariat, maka kejayaan diberikan Allah, sebagaimana terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Sebaliknya, ketika tauhid digantikan dengan hawa nafsu, materialisme, atau kekuasaan semu, kehancuran menjadi akibat, seperti yang menimpa kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun.

Hari ini, tantangan umat Islam tidak lagi berupa berhala yang berbentuk patung, tetapi ideologi dan gaya hidup yang menjauhkan manusia dari tauhid: sekularisme, liberalisme, dan hedonisme. Umat disibukkan dengan dunia, tetapi melupakan hakikat kehidupan yang bersifat sementara. Dalam hal ini, aqidah Islam mengingatkan bahwa keberhasilan sejati bukan terletak pada kemajuan teknologi atau kekuatan ekonomi, tetapi pada keimanan dan amal saleh.

Melihat sejarah dengan aqidah Islam juga membentuk cara pandang yang kokoh: bahwa kemenangan dan kekalahan dalam kehidupan adalah bagian dari skenario Allah untuk menguji siapa yang paling baik amalnya. Tidak ada yang sia-sia dalam sejarah jika dijalani dengan iman. Bahkan kesulitan pun menjadi ladang pahala, sebagaimana sabda Nabi, "Sungguh menakjubkan perkara orang beriman; semua urusannya adalah kebaikan baginya." (HR. Muslim)

Oleh karena itu, generasi Muslim hari ini harus membaca sejarah bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan iman. Kita tidak cukup hanya mengagumi peradaban Islam masa lalu, tetapi harus meneladani aqidah dan prinsip yang melandasinya. Sejarah Islam adalah sejarah tauhid yang mengubah masyarakat jahiliah menjadi umat terbaik, bukan karena harta atau kekuatan militer, tetapi karena aqidah yang murni dan kokoh.

Maka, bila hari ini kita ingin melihat perubahan dan kebangkitan, kita harus mulai dari akar: membangun kembali aqidah Islam dalam diri, keluarga, dan masyarakat. Sebab dalam Islam, kebangkitan bukan hasil dari strategi manusia semata, tetapi janji Allah bagi mereka yang beriman dan beramal sholeh Qs.24:55.


Wallahu 'alam

Abu Roja.

Jejak Siti Hajar: Pelajaran dari Shafa dan Marwa

 Setiap musim haji dan umrah, jutaan umat Islam dari seluruh dunia menapaki jalan antara bukit Shafa dan Marwa, meneladani langkah-langkah Siti Hajar dalam pencarian air bagi anaknya, Ismail. Gerakan berlari-lari kecil yang dikenal sebagai sa’i ini bukan sekadar ritual fisik, melainkan simbol spiritual yang kaya akan pelajaran kehidupan, terutama tentang iman, perjuangan, dan tawakal.

Siti Hajar bukanlah seorang tokoh biasa. Ia adalah seorang ibu yang ditinggalkan di padang gersang Makkah oleh suaminya, Nabi Ibrahim, atas perintah Allah. Dalam kondisi yang tampak mustahil untuk bertahan hidup, ia menunjukkan keberanian luar biasa. Ketika persediaan air habis, dan Ismail menangis kehausan, Siti Hajar tidak duduk meratapi nasib. Ia bangkit dan berlari antara dua bukit, tujuh kali, berharap menemukan sumber kehidupan. Gerakan ini, yang kemudian diabadikan dalam syariat, menggambarkan usaha manusia yang maksimal meski hasilnya di luar kendali.

Ada makna mendalam dalam lari-lari kecil itu. Pertama, ikhtiar tanpa henti. Siti Hajar tahu bahwa hanya Allah yang bisa memberi air, tapi ia tetap berusaha sekuat tenaga. Dalam hidup, kita juga sering dihadapkan pada situasi sulit—keuangan, kesehatan, hubungan, dan masa depan yang tak pasti. Namun seperti Siti Hajar, kita diajarkan untuk tidak menyerah, untuk terus bergerak dan berusaha, meski hasilnya belum terlihat.

Kedua, tawakal yang sejati. Setelah berikhtiar penuh, Siti Hajar tidak protes atau menyalahkan takdir. Ia menyerahkan hasilnya kepada Allah, dan dari tanah yang tandus itu, Allah memancarkan air Zamzam—tanda bahwa di balik keterbatasan manusia, selalu ada kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas.

Ketiga, peran seorang ibu dan kekuatan perempuan. Dalam kisah ini, Allah memilih sosok perempuan sebagai teladan perjuangan. Ini mengangkat martabat perempuan dalam Islam, menegaskan bahwa kekuatan spiritual, ketangguhan emosional, dan peran ibu dalam membentuk peradaban adalah hal yang sangat dihargai dalam Islam.

Akhirnya, perjalanan Siti Hajar bukan sekadar sejarah, melainkan cermin bagi setiap insan. Kita semua adalah "Hajar-Hajar" yang sedang menapaki lembah ujian, mencari jalan keluar di antara "Shafa dan Marwa" kehidupan. Dan seperti Siti Hajar, selama kita tetap bergerak, tetap berdoa, dan tetap percaya, maka akan ada "Zamzam" yang Allah pancarkan, sering kali dari arah yang tak pernah kita sangka.

Wallahu 'alam

Abu Roja

Makna Ketaatan Nabi Ismail kepada Allah Terkait Mimpi Nabi Ibrahim

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan salah satu narasi agung dalam Al-Qur'an yang menggambarkan ketundukan mutlak kepada kehendak Allah SWT. Ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya sebagai bentuk perintah Ilahi, ia menyampaikannya kepada Ismail dengan jujur. Menakjubkannya, Ismail menjawab dengan penuh keyakinan, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”(QS. Ash-Shaffat: 102). Ketaatan luar biasa inilah yang menjadi pusat renungan umat Islam setiap kali membaca kisah ini.

Namun, ketaatan Ismail bukanlah sesuatu yang tumbuh tiba-tiba. Ia adalah buah dari proses panjang pembinaan keluarga yang dimulai dari keteladanan ayahnya, Nabi Ibrahim, dan kelembutan serta keimanan ibunya, Siti Hajar. Siti Hajar adalah perempuan tangguh dan taat, yang dengan sabar tinggal di lembah tandus Makkah bersama bayinya, tanpa keluhan, atas perintah Allah melalui suaminya. Ia percaya pada janji Allah, dan dari keimanannya itulah ia mendidik Ismail kecil dengan penuh keyakinan kepada Tuhan.

Siti Hajar tidak hanya berperan sebagai ibu yang mengasuh, tapi juga sebagai guru kehidupan yang mengajarkan kepercayaan mutlak kepada Allah, bahkan di tengah kesulitan. Keputusannya untuk bolak-balik antara Shafa dan Marwah, demi mencari air bagi putranya, kini diabadikan sebagai bagian dari ibadah haji  menandakan bahwa perjuangan seorang ibu dalam iman adalah bagian dari warisan spiritual umat.

Di sisi lain, peran Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah juga sangat penting. Ia tidak hanya mendidik Ismail secara langsung, tetapi juga membentuk keimanan istrinya. Kepemimpinan spiritualnya dalam keluarga tercermin dari bagaimana Siti Hajar mendukung perintah Allah tanpa ragu, dan bagaimana Ismail bersikap sabar dan ikhlas saat diperintahkan untuk disembelih.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa ketaatan anak kepada Allah adalah cerminan dari kualitas pendidikan dalam keluarga. Seorang ibu yang shalehah seperti Siti Hajar tidak hadir dengan sendirinya, _ia adalah hasil dari bimbingan suami yang memimpin dengan wahyu dan keteladanan._ Dan dari keduanya lahirlah generasi seperti Nabi Ismail, yang imannya sudah tumbuh kuat sejak dini.

Dengan demikian, makna ketaatan Nabi Ismail bukan hanya tentang kepasrahannya pada perintah Allah, tetapi juga tentang keberhasilan orang tuanya dalam membina rumah tangga yang berporos pada iman dan tauhid. Kisah ini mengajak kita menata kembali pendidikan keluarga: bahwa mencetak generasi yang taat tidak cukup hanya dengan instruksi, tetapi dengan teladan, keteguhan, dan kerjasama antara suami dan istri dalam menjalankan peran sebagai pendidik.


Wallahu 'alam

Abu Roja

Menggugat Keberislaman Simbolik: Jalan Menuju Islam Kaffah

Di tengah maraknya simbolisasi agama dalam ruang publik dan kehidupan sosial, muncul pertanyaan mendasar: Apakah keberislaman kita telah menyentuh substansi, atau sekadar berhenti pada permukaan? Islam, dalam hakikatnya, bukan hanya tentang apa yang tampak, tetapi tentang bagaimana kita hidup secara menyeluruh sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah. Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, dia musuh yang nyata bagi kalian."(QS. 2: 208)

Ayat ini adalah seruan keras sekaligus ajakan halus untuk meninggalkan keberislaman yang parsial yang hanya dipakai saat nyaman, dimanfaatkan saat butuh, atau dihidupkan dalam perayaan semata. Islam bukan tempelan identitas, bukan simbol politik, bukan komoditas ekonomi, bukan pula warisan budaya. Islam adalah jalan hidup total dan menyeluruh.

Islam Identitas: Ketika Label Menggantikan Substansi

Banyak yang menyandang nama Islam, namun tak mengenal siapa Allah yang disembah. Nama-nama Islami, gelar-gelar agamis, pakaian syar’i, kadang hanya berfungsi sebagai penanda sosial, bukan penunjuk jalan hidup. Islam identitas dapat memperkuat komunitas, namun juga bisa menjadi jebakan ego kolektif jika tidak ditopang ilmu dan amal. Identitas yang tidak berisi nilai akan mudah dimanipulasi dan diperjualbelikan.

Islam Ritual: Gerak Tanpa Jiwa

Ritual Islam seperti shalat dan puasa adalah kewajiban utama. Namun, Islam bukan hanya soal rukuk dan sujud, tetapi juga kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. Ketika ritual kehilangan maknanya, ia berubah menjadi rutinitas kosong. Sejarah Nabi menunjukkan bahwa shalat membentuk pribadi jujur dan amanah, bukan sekadar formalitas.

Rasulullah ﷺ tidak hanya mendirikan shalat, tetapi mengajarkan bahwa shalat yang benar mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Islam Politik: Kuasa atau Dakwah?

Ada yang mengibarkan panji Islam untuk merebut kekuasaan. Namun, yang diperjuangkan seringkali bukan syariat, melainkan kursi. Rasulullah ﷺ mendirikan negara di Madinah bukan demi kekuasaan, tapi untuk menegakkan keadilan dan menyelamatkan manusia. Politik dalam Islam adalah sarana dakwah, bukan alat ambisi.

"Sungguh, pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kalian..."(QS. 33: 21)

Beliau adalah pemimpin yang menangis di malam hari dan berjuang di siang hari. Kuasa baginya adalah amanah, bukan kemewahan.

Islam Fulusiyah: Agama Dijual Murah

Simbol Islam kini menjadi alat dagang: makanan halal, busana syar’i, wisata religi, hingga konten dakwah yang dimonetisasi. Memang, tidak salah mengambil manfaat dunia dari nilai Islam, selama tidak mencemari keikhlasan. Tapi jika “syariah” hanya jadi stiker pemikat pasar, sementara perilakunya jauh dari kejujuran, maka itu adalah bentuk eksploitasi terhadap kesucian agama.

Islam Keturunan: Warisan Tanpa Pemahaman.

Banyak Muslim lahir dalam keluarga Islam, tetapi tidak memahami Islam yang mereka warisi. Mereka Muslim secara administratif, tapi belum tentu secara ideologis dan moral. Keimanan tidak diturunkan, ia ditumbuhkan. Nabi ﷺ sendiri tidak diwariskan Islam oleh keluarganya, tetapi mencarinya lewat kebenaran dan wahyu.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah."(QS. 2: 218)

Artinya, iman menuntut pembuktian, bukan sekadar status.

Islam Seremonial: Ramai Tapi Sepi Makna

Kegiatan Islam seremonial seperti Maulid, buka puasa bersama, dan perayaan hari besar, sering menjadi tradisi tahunan yang meriah. Namun, apakah semua itu membentuk akhlak dan menghidupkan iman? Ataukah hanya menjadi perayaan kosong yang tidak berdampak pada moral? Nabi Muhammad ﷺ tidak sibuk membesarkan acara, tapi membesarkan jiwa manusia.

Meneladani Nabi: Tafsir Hidup dari Wahyu

Jika Al-Qur’an adalah teks suci, maka kehidupan Rasulullah ﷺ adalah tafsir aplikatifnya. Ia tidak hanya mengajarkan Islam, tetapi menjalaninya dalam semua dimensi kehidupan: sebagai suami, pedagang, pemimpin, dan pejuang. Maka untuk memahami Islam secara kaffah, kita harus membaca bukan hanya kitab suci, tetapi juga sirah Nabi. Tanpa itu, kita akan mudah tersesat dalam Islam versi kita sendiri yang mungkin hanya menuhankan simbol, bukan nilai.

Penutup : Menuju Islam yang Hidup

Kita hidup di zaman di mana agama mudah digunakan untuk segalanya kecuali untuk menyelamatkan manusia. Islam kaffah bukan tentang ekstremisme, bukan juga tentang ritualisme, tapi tentang keseimbangan iman, amal, dan akhlak.

Mari kita kembali pada Islam sebagaimana yang diajarkan Nabi ﷺ—Islam yang tidak hanya dipakai, tetapi dihayati; tidak hanya dirayakan, tapi diperjuangkan; tidak hanya dikutip, tapi dijalani.

Islam bukan milik siapa-siapa. Ia adalah jalan hidup yang diberikan Allah untuk membimbing siapa saja yang bersedia tunduk secara utuh tanpa syarat, tanpa syarat, tanpa tapi


Wallahu 'alam

Abu Roja

Sebuah Perenungan: Makan Adalah Kebiasaan Seluruh Makhluk, Tapi Beda dengan Seorang Muslim

Makan, sebuah Aktivitas Fitrah yang sarat Makna.

Makan adalah aktivitas paling dasar dalam kehidupan makhluk hidup. Semua makhluk makan dari hewan buas di hutan hingga manusia modern di tengah kota. Namun bagi seorang Muslim, makan bukan sekadar rutinitas mengisi perut. Ia adalah ibadah, bentuk syukur, sekaligus sarana memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama manusia.

Kesalahan Umum dalam Memahami Makan

Di zaman sekarang, makan sering dilakukan bukan karena kebutuhan, tapi karena dorongan emosi atau kebiasaan yang tidak sehat:

  • Makan karena kesal, misalnya saat suami marah karena istri belum memasak, lalu ia membeli makanan di luar sebagai pelampiasan.
  • Makan karena stres, menjadikan makanan sebagai pelarian dari tekanan batin.
  • Makan karena gaya hidup hedonis, mengejar tren kuliner tanpa memikirkan nilai gizi dan kebermanfaatan.
  • Makan karena hobi, menjadikan makanan sebagai ajang eksplorasi tanpa kontrol.

Kebiasaan-kebiasaan ini bisa berujung pada masalah kesehatan serius: asam urat, darah tinggi, kolesterol, gula darah, dan lain-lain karena makan tanpa adab dan batas.

Islam: Makan Sebagai Bagian dari Ibadah

Islam tidak hanya mengatur apa yang dimakan, tapi juga bagaimana cara makan. Allah SWT berfirman:

Makanlah dari yang halal lagi baik, dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”(QS. 7: 31)

Ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan: makanan harus halal, baik (thayyib), dan dikonsumsi secara proporsional. Rasulullah ﷺ pun mencontohkan adab makan yang penuh makna: membaca basmalah, makan dengan tangan kanan, berhenti sebelum kenyang, bersyukur atas setiap suapan dan mengucapkan Alhamdulillah ketika selesai makan.

Hikmah Istri Memasak untuk Keluarga

Memasak bukan sekadar pekerjaan rumah tangga. Ketika seorang istri memasak dengan cinta dan keikhlasan, itu adalah ibadah. Ia menyuplai energi lahir dan batin bagi keluarga, mendidik anak-anak lewat rasa, dan mempererat ikatan rumah tangga melalui sajian yang disiapkan dengan kasih sayang.

Makanan yang dimasak sendiri jauh lebih bernilai daripada makanan cepat saji. Bukan hanya lebih sehat, tapi juga membawa keberkahan karena disiapkan dengan tangan yang menjaga adab dan niat.

Makan Bersama: Sumber Keberkahan yang Terlupakan

Islam sangat menekankan pentingnya makan bersama. Rasulullah ﷺ bersabda:“Makanlah bersama, karena dalam makan bersama terdapat keberkahan.”(HR. Abu Dawud)

Makan bersama menyatukan hati, membuka ruang komunikasi, dan menguatkan ikatan keluarga. Di meja makan, bukan hanya tubuh yang mendapat asupan, tapi juga jiwa yang terhubung lewat kebersamaan.

Sayangnya, kebiasaan ini mulai hilang. Salah satu penyebabnya adalah terlalu sibuk dengan gawai.

Gawai adalah istilah untuk perangkat elektronik modern seperti HP (ponsel pintar), tablet, atau laptop. Gawai memang bermanfaat, tetapi jika tidak dikendalikan, bisa merusak interaksi keluarga. Kita sering melihat anak sibuk dengan ponselnya, ayah membuka laptop kerja, ibu menatap layar tablet—semua di meja makan, tapi tak ada yang saling berbicara.

Padahal dahulu, dalam budaya Sunda, dikenal tradisi makan bersama yang disebut "papahare": makan ramai-ramai dari satu nampan atau daun besar. Semua duduk setara, menikmati hidangan bersama-sama, dalam suasana hangat penuh canda dan keakraban. Tradisi ini bukan hanya menyatukan perut, tapi juga hati.

Kini, tradisi seperti itu nyaris hilang, tergantikan oleh gaya hidup modern yang serba individual dan tergesa-gesa. Padahal, papahare sejalan dengan ajaran Islam tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan keberkahan dalam makan.

Mengembalikan Makna Makan dalam Islam

Sudah saatnya kita kembali memaknai makan bukan sekadar rutinitas, tapi:

  • Sebagai ibadah yang diawali dengan niat dan adab.
  • Sebagai bentuk syukur atas rezeki yang Allah beri.
  • Sebagai sarana memperkuat keluarga, lewat peran istri yang memasak dan momen makan bersama.
  • Sebagai ruang pendidikan dan kasih sayang, bukan hanya konsumsi fisik.

Karena sejatinya, yang membedakan seorang Muslim dari makhluk lainnya bukan pada apa yang dimakan, tapi memperhatikan apa yang dimakan, darimana asalnya  dan untuk apa ia makan.

Wallahu a'lam

Abu Roja.

Meniti Jalan Ideologi: Antara Idealisme dan Realitas dalam Uswah Rasulullah ﷺ

Tidak semua orang hidup dengan arah yang jelas. Banyak yang menjalani hari demi hari hanya karena rutinitas bekerja, pulang, istirahat tanpa tahu untuk apa semua itu dijalani. Sekadar hidup, bukan berjuang. Sekadar bergerak, tanpa arah.

Tapi seorang pejuang ideologi berbeda. Ia tidak sekadar bernapas ia melangkah. Ia punya visi, tujuan, dan arah yang dituju. Hidupnya bukan untuk menyesuaikan diri dengan dunia, tapi untuk mengubahnya. Bukan hanya mengikuti arus, tapi membangun jalan menuju keridhoan Allah SWT.

Ideologi Bukan Sekadar Wacana

Bagi seorang pejuang, ideologi bukan hiasan kata di seminar atau kutipan di media sosial. Ideologi adalah nyawa dari setiap langkahnya. Ia menghidupkan semangat, mengarahkan pilihan, bahkan menjadi alasan untuk bertahan di tengah cobaan.

Ketika banyak orang bergerak karena kebiasaan, pejuang bergerak karena keyakinan. Dan keyakinan yang kuat membuat langkahnya lebih dalam, lebih bermakna, dan lebih tahan banting.

"Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutlah petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur`ān).” Al-Qur`ān itu tidak lain hanyalah peringatan untuk (segala umat) seluruh alam."(QS. 6: 90)

Berjuang Itu Bahagia

Jangan salah, perjuangan memang melelahkan. Tapi di balik lelah itu, ada kebahagiaan yang tak bisa dibeli. Karena setiap peluh, setiap air mata, bahkan luka-luka perjuangan, terasa penuh makna. Ia tahu, semua itu bernilai di sisi Allah. Ia tahu, semua itu adalah bagian dari jalan menuju ridha-Nya.

Rasulullah  bersabda:"Barangsiapa yang berjuang di jalan Allah, maka Allah akan menuntunnya kepada jalan-jalan-Nya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik."(HR. At-Tirmidzi)

Kadang idealisme itu diuji. Realitas sering tak sesuai harapan. Ada keterbatasan waktu, tekanan keluarga, omongan orang, bahkan pengkhianatan dari orang dekat. Tapi justru dari situ jiwa dibentuk. Ketangguhan tumbuh. Dan hati belajar untuk tetap bersih, sabar, dan istiqamah.

Rasulullah ﷺ: Teladan Sejati Pejuang Ideologis

Dalam Islam, kita tidak berjalan tanpa arah. Kita punya teladan sejati dalam diri Rasulullah Muhammad ﷺ. Beliau bukan hanya mengajarkan nilai-nilai Islam, tapi juga memperjuangkannya di tengah masyarakat yang penuh kezaliman dan kesesatan

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."(QS. Al-Ahzab: 21)

Beliau dihina, disakiti, diusir, bahkan diancam nyawanya. Tapi beliau tak berhenti. Ketika satu pintu tertutup, beliau mencari yang lain. Ketika tak ada jalan, beliau menciptakannya. Semua itu bukan karena ingin menang secara duniawi, tapi karena keyakinan terhadap misi suci yang diemban.

Tauhid: Pondasi Perjuangan

Perjuangan Rasulullah ﷺ berakar dari satu hal: tauhid. “La ilaha illallah” bukan hanya ucapan, tapi fondasi hidup. Tauhid adalah keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, ditaati, dan diandalkan.

Dari keyakinan ini tumbuh keberanian untuk menolak sistem yang zalim, menegakkan keadilan, menjunjung kejujuran, dan membangun peradaban yang berpihak pada kebenaran.

"Barangsiapa yang mengikhlaskan amalnya karena Allah, maka Allah akan mencukupinya urusannya."(HR. An-Nasa’i)

 

Dari Cita-Cita ke Kenyataan

Idealisme sering dianggap terlalu tinggi, tak mungkin tercapai. Tapi justru di situlah tantangan dan keindahannya. Tugas kita adalah mewujudkan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Bukan hanya menjadi pemimpi, tapi pelaku. Bukan hanya berbicara, tapi bekerja.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:

"Kebenaran tidak diukur dengan banyaknya pengikut. Tapi kebenaran adalah kebenaran meski engkau sendirian."

 

Seorang pejuang sejati tak menunggu kondisi sempurna. Ia mulai dengan apa yang ada, meski kecil. Ia bergerak, meski sendiri. Karena ideologi tidak butuh panggung megah untuk hidup. Ia cukup dipelihara dengan keikhlasan dan ketekunan.

 

Melangkah dan Istiqamah: Nafas Panjang Para Pejuang

Menjadi pejuang bukan soal siapa yang paling cepat atau paling populer. Tapi siapa yang paling setia dan jujur dalam melangkah. Mungkin kita tak melihat hasil besar dalam waktu dekat. Tapi setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini bisa menjadi pondasi bagi kebangkitan esok hari.

Allah mencatat niat, usaha, dan luka perjuangan kita. Dan itu cukup menjadi alasan untuk terus bergerak—meski pelan, meski sendiri.

Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu, apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. 9: 105)

Istiqamahlah, meski langkah terasa berat. Jangan berhenti karena kecewa, jangan patah karena sedikit. Karena perjuangan ini bukan tentang hasil yang langsung tampak, tapi tentang kesetiaan kita menapaki jalan yang benar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamahlah!”(HR. Muslim)

Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Tetaplah teguh dalam kebenaran, meskipun hanya sedikit orang yang bersamamu. Karena kamu berada di atas jalan Allah, sementara mereka berada di atas jalan hawa nafsu.”

 

Jangan tunggu semuanya sempurna untuk mulai. Mulailah dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat, dan dari sekarang. Karena Rasulullah ﷺ pun memulai dari nol. Maka siapa pun kita, selama masih ada iman di dada dan cinta pada kebenaran, kita pun bisa ikut meniti jalan ini.

Dan semoga Allah meneguhkan kita di atas jalan yang lurus dan jalannya orang  orang yang beri nikmat.  Qs. 4:69

 

Wallahu 'alam

Abu Roja

 


Fitnah: Lebih Kejam dari Pembunuhan

Menilik Kekeliruan Makna yang Sering Kita Dengar, kata fitnah sangat familiar di telinga kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar orang berkata: “Itu fitnah!” atau “Jangan memfitnah!” Biasanya maksudnya adalah menuduh seseorang tanpa bukti, menyebarkan kebohongan yang bisa merusak nama baik orang lain.

Memang benar, dalam bahasa Indonesia, fitnah berarti tuduhan bohong tanpa dasar. Namun yang perlu disadari, makna fitnah dalam Al-Qur’an jauh lebih luas dan lebih dalam. Bahkan pemahaman kita yang hanya membatasi fitnah sebagai “tuduhan palsu” justru bisa membuat kita luput dari bahaya yang lebih besar.

Dalam bahasa dan istilah Al-Qur’an, fitnah adalah sesuatu yang menghalangi tegaknya hukum-hukum Allah. Fitnah bisa berarti kerusakan, godaan, ujian iman, bahkan kondisi sosial yang membuat orang sulit menjalankan Islam secara utuh.

Fitnah dalam Bahasa Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitnah diartikan sebagai:“Tuduhan yang tidak benar atau tidak berdasar yang dapat merusak nama baik orang lain.”

Makna ini sangat sempit jika dibandingkan dengan makna dalam bahasa Al-Qur’an. Padahal, pemahaman umat terhadap istilah ini akan sangat memengaruhi cara mereka melihat realitas sosial dan keagamaan.

Fitnah dalam Bahasa Arab dan Istilah Islam

Dalam bahasa Arab, kata fitnah berasal dari akar kata "fatana" yang berarti:Menguji atau mencoba, menggoda atau menyesatkan, membakar logam untuk menguji kemurniannya.

Dari akar makna ini, para ulama menjelaskan bahwa fitnah dalam Al-Qur’an mencakup: Ujian terhadap keimanan,Godaan duniawi yang bisa menjerumuskan, Kerusakan masyarakat yang menghalangi kebenaran,Dan yang paling serius: penghalang tegaknya syariat dan hukum Allah di muka bumi.

Fitnah dalam Al-Qur’an: Lebih dari Sekadar Tuduhan Bohong

Harta dan Anak adalah Fitnah (Ujian) “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”(QS. At-Taghabun: 15)

Di sini, fitnah bermakna ujian — sesuatu yang bisa menguatkan atau menghancurkan keimanan seseorang, tergantung bagaimana ia menyikapinya.

Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan

“Dan fitnah itu lebih besar (berat) daripada pembunuhan.”(QS. Al-Baqarah: 191)

“Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.”(QS. Al-Baqarah: 217)

Maksud fitnah di sini adalah segala bentuk kekacauan dan kezaliman yang menghalangi jalan Allah: memaksa orang meninggalkan iman, menebar ketakutan di tengah umat, dan mencegah syariat Allah ditegakkan. Bahayanya lebih dahsyat dari pembunuhan fisik karena fitnah merusak akidah, iman, dan kehidupan umat secara menyeluruh.

Fitnah Saat Hukum Allah Tidak Ditegakkan

 “…dan jika kamu tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”(QS. Al-Anfal: 73)

Ayat ini menunjukkan bahwa ketika umat Islam tidak bersatu dan tidak menegakkan hukum Allah, maka yang muncul adalah fitnah  kekacauan besar di bumi: kebatilan menang, keadilan hilang, dan umat tercerai-berai.

Fitnah: Ancaman Bagi Umat dan Peradaban

Fitnah bukan sekadar urusan pribadi atau masalah etika semata. Dalam pengertian Al-Qur’an, fitnah adalah:Ujian keimanan dan keistiqamahan, Kerusakan moral dan sosial, Kekuasaan yang zalim dan menindas dakwah, Ketiadaan syariat sebagai pedoman hidup.

Inilah fitnah terbesar: ketika sistem kehidupan tidak lagi dibangun atas dasar kebenaran dan hukum Allah, tapi atas hawa nafsu, kebatilan, dan kepentingan manusia.

Apa yang Harus Kita Lakukan? Menghadapi fitnah butuh:Iman yang kuat, agar tidak goyah saat diuji,Ilmu yang benar, agar tidak tertipu oleh godaan dunia,

Persatuan umat, agar bisa menegakkan keadilan dan kebenaran,

Komitmen menegakkan Islam, agar hukum Allah benar-benar menjadi petunjuk kehidupan.

Rasulullah ﷺ dan para sahabat menghadapi fitnah besar saat berdakwah di Makkah. Tapi mereka tetap sabar, konsisten, dan membangun kekuatan umat agar Islam bisa tegak dengan kokoh.

Waspadai Fitnah yang Sesungguhnya

Fitnah bukan sekadar “gosip jahat”. Dalam pandangan Islam, fitnah adalah segala hal yang menghalangi kebenaran dari tegak di tengah umat. Ia bisa berupa kekuasaan yang tidak adil, sistem yang tidak berlandaskan Islam, atau bahkan sikap diam kita terhadap kemungkaran.

Maka jangan tertipu oleh pemahaman sempit soal fitnah. Waspadailah fitnah yang lebih besar: fitnah yang membuat hukum Allah tertinggal, dan kebatilan merajalela.

“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang beriman karena keteguhan mereka...”(QS. Ibrahim: 11)

Semoga Allah lindungi kita dari fitnah dunia dan akhirat. Aamiin.

Wallahu 'alam

Abu Roja



Sendal Jepit Kehidupan: Dilepas Panas, Dipakai Malu

Dalam lelucon sehari-hari, kita sering menyebut sandal jepit murahan dengan istilah “sendal jepit.” Unik namanya, dalam maknanya. Sederhana bentuknya, murah harganya, tapi tetap berguna. Namun sering kali, saat dipakai di tempat umum, timbul rasa malu; dan saat dilepas, kaki terasa panas. Sebuah pilihan yang serba tak nyaman: dipakai sungkan, dilepas pun menyiksa.

Di balik kelucuan istilah itu, tersimpan gambaran tentang kondisi manusia modern. Kita hidup dalam zaman citra —di mana tampilan luar lebih diagungkan daripada makna dalam, dan kemewahan lebih dikagumi daripada kesahajaan. Maka banyak orang terjebak dalam dilema yang sama: dilepas panas, dipakai malu  antara tuntutan gaya hidup dan nurani yang sesungguhnya.

Menyoal Kesederhanaan dan Martabat

Kesederhanaan bukan tanda kekurangan, sebagaimana kemegahan bukan jaminan kemuliaan. Dalam Islam, kesederhanaan adalah keutamaan  cermin dari kedewasaan iman dan kemurnian jiwa. Rasulullah ﷺ, manusia paling mulia, justru hidup dengan penuh keprihatinan. Beliau tidak mencela makanan sederhana, tidak menolak pakaian bersih meski lusuh, dan tidak membanggakan apa yang tidak beliau miliki.

Namun kini, dalam budaya yang penuh gemerlap dan standar artifisial, kesederhanaan sering dianggap memalukan. Seolah hidup sederhana adalah tanda kegagalan. Padahal, nilai sejati seseorang bukan ditentukan oleh yang melekat di tubuhnya, tetapi oleh yang tertanam dalam hatinya.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”(HR. Muslim)

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”(QS. Al-Hujurat: 13)

Hedonisme: Antara Gengsi dan Kegelisahan

Budaya hedonistik menuntut manusia untuk terus tampil. Bukan lagi kebutuhan yang memandu, tapi keinginan untuk dilihat dan dikagumi. Akibatnya, orang lebih sibuk mencocokkan hidup dengan selera pasar ketimbang prinsip nilai. Yang dicari bukan keberkahan, tapi pengakuan.

Dalam dunia seperti ini, iman pun bisa menjadi kosmetik. Simbol-simbol agama diperlihatkan, tapi niatnya bukan karena Rabb, melainkan karena sorotan kamera. Padahal, iman sejati tidak selalu bersuara, tetapi selalu hadir dalam laku. Tidak selalu tampak, tapi selalu memberi arah.

Ketika hidup ditentukan oleh “apa kata orang”, maka lahirlah kegelisahan yang tak selesai. Gengsi merayap naik, tapi jiwa terus merasa kecil. Karena yang diukurnya bukan kebenaran, melainkan penilaian sesaat yang fana.

Menyederhanakan yang Mulia, Memuliakan yang Sederhana

Analogi sendal jepit menggambarkan bagaimana kesederhanaan sering dianggap beban, bukan pilihan sadar. Bahkan ketaatan pun kadang dijalani demi citra bukan karena iman. Maka hidup jadi semu: menuruti kenyataan tapi merasa rendah, atau memaksakan kemewahan yang justru menipu diri sendiri.

Namun di tengah gemuruh zaman, masih ada jiwa-jiwa yang memilih jalan tenang. Mereka yang tetap sederhana dalam laku, meski dianggap “tidak mengikuti tren.” Yang menjaga ketaatan meski tak mendapat tepuk tangan. Merekalah yang sungguh sedang berjalan menuju ridha-Nya  sebab hidup mereka bukan panggung, tapi perjalanan ruhani.

Hidup Bukan Kata Orang

Hidup sederhana bukanlah tanda kalah, sebagaimana hidup mewah bukan bukti menang. Nilai seorang hamba tidak diukur dari kemasan, tetapi dari ketulusan dan keteguhan hatinya. Karena iman sejati tidak menuntut pujian, cukup dengan diterima oleh Tuhan.

“Jika kesederhanaan membawamu lebih dekat kepada Allah, biarlah orang mencibir  asal Allah meridhai.”

Hidup bukanlah soal terlihat mengesankan di mata manusia, melainkan tentang bagaimana kita menjaga arah, niat, dan amal di hadapan Allah. Sebab Allah tidak  menilai mahalnya sandal kita, tetapi arah langkah yang kita pilih.

Hidup lahir dari keyakinan. Dan hanya yang hidup dengan keyakinan, yang mampu melangkah dengan ringan walau hanya beralas sendal jepit.

Wallahu 'alam

Abu Roja



Hidupkan Iman, Jalani Hidup dengan Keyakinan

Di tengah hiruk pikuk dunia yang makin hingar, manusia mudah kehilangan arah dan makna. Hidup terasa berlari tanpa tujuan, sibuk mengejar tanpa tahu apa yang dicari. Di tengah kebingungan itu, hanya satu yang mampu menjadi pelita penuntun jalan: iman. Bukan sekadar identitas, iman adalah fondasi hidup, ruh yang menghidupkan jiwa, dan kekuatan yang meneguhkan langkah.

Iman adalah cahaya yang menyingkap kegelapan menjadi terang. Dalam kebimbangan, iman menghadirkan keteguhan. Di tengah kemaksiatan, iman memperingatkan nurani. Dalam gelapnya ujian hidup, iman menerangi jalan, membimbing hati agar tidak putus asa. Tanpa iman, hidup seperti berjalan dalam kabut tak tahu ke mana melangkah dan apa yang sedang diperjuangkan.

Dalam ajaran Islam, iman bukanlah sesuatu yang abstrak atau cukup diucapkan tanpa bukti. Ia memiliki tiga pilar yang menyatu: tasdiq bil-qolbi (pembenaran dengan hati), iqrar bil-lisan (pengakuan dengan lisan), dan ‘amal bil-arkan (pengamalan dengan anggota tubuh). Inilah bentuk iman yang sejati—iman yang hidup, tumbuh, dan menggerakkan.

Tasdiq bil-qolbi adalah titik awal iman. Ia bermula dari hati yang meyakini kebenaran ajaran Allah tanpa ragu. Hati yang yakin bahwa Allah Maha Esa, bahwa hidup ini punya tujuan, dan bahwa setiap langkah akan dipertanggungjawabkan. Pembenaran ini tidak tampak, tapi menjadi inti dari semua yang akan lahir setelahnya. Tanpa keyakinan di hati, amal tak punya ruh, dan ucapan jadi kosong.

Lalu iman itu dinyatakan dengan iqrar bil-lisan. Lisan mengucap syahadat bukan sekadar formalitas, tapi bentuk peneguhan dan komitmen. Lisan yang mengikrarkan keimanan adalah lisan yang terikat janji kepada Allah, dan janji itu mengharuskan konsistensi dalam sikap dan perilaku.

Namun iman tidak berhenti di hati dan lisan. Ia harus nyata dalam perbuatan ‘amal bil-arkan. Inilah wujud iman yang sesungguhnya: shalat yang khusyuk, sedekah yang ikhlas, menahan amarah, berkata jujur, menolong sesama, menolak kemungkaran. Sebab iman bukan masalah pengakuan, tapi pembuktian. Ia bukan sekadar apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan.

لَيْسَ الْإِيمَانُ بِالتَّمَنِّي وَلَا بِالتَّجَلِّي، وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي النَّفْسِ وَصَدَّقَهُ الْعَمَلُ

Iman itu bukan dengan angan-angan dan bukan pula dengan penampilan luar, tetapi sesuatu yang menetap dalam jiwa dan dibenarkan oleh amal perbuatan.

Ungkapan ini menyentak kesadaran: iman bukan soal gaya, simbol, atau kemasan. Bukan pula semata klaim dan wacana. Iman adalah kedalaman yang diam di hati dan hidup dalam amal.

Lebih dari itu, iman adalah pengendali hidup. Ia menahan manusia dari tindakan gegabah, menjaga dari kezaliman, dan mengarahkan energi pada hal-hal yang bermakna. Iman bukan sekadar keyakinan batin, tetapi kekuatan yang memberi kendali atas hawa nafsu dan arah atas pilihan. Iman juga menjadi penuntun arah visi dan misi hidup. Ia memberi tujuan, makna, dan nilai dalam setiap langkah. Dengan iman, seseorang tahu untuk apa ia diciptakan, ke mana ia menuju, dan bagaimana ia harus menjalani hidup di tengah kompleksitas dunia.

Dan penting untuk disadari: iman bukan alat untuk menilai orang lain. Kita tidak diberi kuasa untuk mengukur kadar iman di hati manusia. Karena iman itu hakikatnya tersembunyi, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Tugas kita bukan menghakimi, tapi memperbaiki. Bukan merasa paling benar, tapi berlomba dalam kebaikan. Maka, iman sejati melahirkan ketawadhuan, bukan kesombongan religius.

Dengan iman yang hidup, kita menjalani hidup dengan keyakinan. Bukan karena hidup ini mudah, tapi karena kita percaya bahwa Allah Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Menolong. Keyakinan ini bukan pasrah tanpa usaha, tapi ikhtiar yang dilandasi harapan. Bukan pula optimisme kosong, tapi keteguhan yang lahir dari yakin bahwa segala yang Allah takdirkan, pasti mengandung hikmah.

Maka, hidupkan imanmu. Tanamkan keyakinan di hati, pertegas dengan lisan, dan buktikan dalam perbuatan. Biarkan cahaya iman menerangi langkahmu, mengendalikan hidupmu, dan menuntun arahmu. Jangan sibuk menakar iman orang lain, tapi sibukkanlah memperbaiki iman diri sendiri. Karena hanya dengan iman yang utuh—yang tampak dalam amal, terasa dalam lisan, dan tulus dari hati—hidup ini akan terasa kokoh, bermakna, dan penuh harapan

Wallahu 'alam

Abu Roja 


Menumbuhkan Iman

Iman adalah fondasi kehidupan seorang Muslim. Ia bukan sekadar keyakinan batin, tetapi kekuatan ruhani yang membentuk cara pandang, menentukan pilihan, dan mengarahkan tindakan. Dalam sebuah sabda yang menggugah, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah rasa malu, dan buahnya adalah ilmu.”(HR. Hakim dan Baihaqi)

Sabda ini menegaskan bahwa iman bukanlah sesuatu yang statis. Ia seperti benih—perlu ditanam, dirawat, dijaga, dan dipanen. Dan proses menumbuhkan iman itu tidak datang dari luar semata, tetapi harus tumbuh dari dalam diri: melalui perenungan, pengamatan, dan pendalaman yang jujur terhadap kehidupan dan kebenaran.

Iman: Benih Kehidupan yang Harus Dirawat

Iman, sebagaimana benih, tidak cukup hanya dimiliki. Ia harus ditumbuhkan dalam kesadaran. Banyak orang memiliki benih iman—yakni keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya—namun tidak semua berhasil merawatnya menjadi pohon amal yang kuat.

Seperti petani yang tidak cukup hanya menabur benih, tetapi harus menyiram, menyiangi, dan melindungi dari hama, menumbuhkan iman juga butuh usaha berkelanjutan. Dan usaha ini bukan sekadar ritual, tetapi juga intelektual dan spiritual: berpikir, merasa, dan menyadari.

Tafakur: Menyuburkan Iman dari Dalam Diri

Salah satu cara paling dalam untuk menumbuhkan iman adalah tafakur merenung tentang ayat-ayat afakiyah, yakni tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbentang di langit dan bumi. Alam semesta bukan hanya objek sains, tetapi juga ayat-ayat yang berbicara kepada akal dan hati manusia:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal...” (QS. Ali ‘Imran: 190)

Merenungi perputaran matahari, keseimbangan alam, dan keteraturan makhluk adalah cara menyadari kebesaran Allah dan memupuk iman yang dalam. Tafakur mengubah kekaguman menjadi keimanan, mengarahkan logika kepada ketundukan.

Tanzhurun: Belajar dari Sejarah dan Umat Terdahulu

Selain alam, sejarah manusia juga menjadi ladang iman. Allah sering mengingatkan manusia agar tanzhurun—memperhatikan perjalanan umat-umat terdahulu:

“Maka tidakkah mereka bepergian di bumi lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?”(QS. Yusuf: 109)

Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tapi cermin bagi jiwa dan pelajaran bagi iman. Bangsa yang sombong dan lalai, meskipun kuat secara lahir, binasa karena mengingkari kebenaran. Ini menumbuhkan kesadaran bahwa iman adalah perlindungan dan penyelamat peradaban.

Tadabbur: Meneguhkan Iman dengan Al-Haq

Semua tafakur dan renungan akan berujung pada tadabbur—pendalaman makna Al-Qur’an sebagai wahyu al-haq, penegas dan petunjuk atas realitas alam dan sejarah. Al-Qur’an mengonfirmasi bahwa iman bukan ilusi batin, tetapi puncak kesadaran ruhani yang berpijak pada kenyataan.

Tadabbur bukan hanya membaca, tapi memahami dan mengamalkan. Ia adalah proses yang mengikat hati kepada Allah dan meneguhkan iman sebagai cahaya dalam jiwa.

“Dan apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an?” (QS. Muhammad: 24)

Melalui tadabbur, seseorang menyatukan ayat-ayat kauniyah (alam), ayat tarikhiyah (sejarah), dan ayat Qur’aniyah (wahyu), menjadi satu kesatuan iman yang kuat, hidup, dan mengakar.

Taqwa: Pakaian dan Pelindung Iman

Sebagaimana petani menutup tanaman mudanya dari cuaca yang membahayakan, iman pun perlu pakaian yang melindunginya: yaitu taqwa.

Allah berfirman:

“Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.”(QS. Al-A’raf: 26)

Taqwa adalah sikap waspada ruhani yang menjaga iman dari penyakit seperti riya, ujub, dan hawa nafsu. Ia bukan sekadar rasa takut, tetapi komitmen untuk hidup di bawah naungan perintah dan larangan Allah.

Abawāhu: Tanah Subur Iman dalam Keluarga dan Lingkungan

Dalam sabda lain, Nabi ﷺ bersabda:

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah (abawāhu) yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."(HR. Bukhari dan Muslim)

Fitrah iman membutuhkan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh. Keluarga Islami, teman yang shaleh, dan masyarakat yang mendorong kebaikan adalah tanah subur bagi benih iman.

Lingkungan yang buruk tidak serta-merta mematikan iman, tetapi hampir selalu melemahkannya. Maka, siapa yang ingin menumbuhkan iman harus juga berusaha menciptakan dan memilih lingkungan yang membantunya.

Panen Iman: Buah Dunia dan Akhirat

Petani tidak menanti hasil instan. Ia bersabar hingga panen tiba. Demikian pula orang yang menumbuhkan iman: buahnya adalah ketenangan hati, kelapangan dalam musibah, kekuatan dalam perjuangan, dan keselamatan di akhirat.

Iman yang sehat melahirkan manusia yang sabar, santun, jujur, dan kokoh—seperti pohon yang rindang: akarnya menghujam, batangnya kokoh, dan buahnya bermanfaat bagi sekitarnya.

Merawat Iman Sepanjang Hayat

Menumbuhkan iman adalah proyek seumur hidup. Seperti ladang yang tak pernah bisa ditinggalkan, iman pun harus terus disiram dengan tafakur, dipupuk dengan tadabbur, dijaga dengan taqwa, dan ditumbuhkan dalam lingkungan yang sehat.

Dengan hati yang merenung (tafakur), akal yang memperhatikan sejarah (tanzhurun), jiwa yang mendalami wahyu (tadabbur), dan keluarga yang membimbing (abawāhu)—iman akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh, menghasilkan buah yang menyejukkan diri dan memberi manfaat bagi sesama.

Wallahu 'alam

Abu Roja 

Kedudukan Tertib Ditinjau dari Syari’ah Wudhu

Islam adalah agama yang menata manusia, tidak hanya dalam hubungan vertikal kepada Tuhan, tetapi juga dalam relasi horizontal dengan sesama dan alam. Dalam setiap ibadah yang disyariatkan, terkandung nilai-nilai pendidikan moral, sosial, dan spiritual. Salah satunya tampak dalam praktik wudhu ibadah penyucian diri sebelum shalat. Dalam wudhu, terdapat prinsip penting yang jarang disorot padahal memiliki makna mendalam: tertib.

Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki…” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Urutan dalam ayat ini dijadikan dasar oleh mayoritas ulama (Syafi’i, Hambali, dan sebagian Malikiyah) bahwa tertib merupakan rukun wudhu yang wajib dilakukan. Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah meninggalkan urutan tersebut dalam wudhunya. Namun lebih dari sekadar fiqih, tertib dalam wudhu mengajarkan makna mendalam tentang ketertiban sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan dan amal.

Ketertiban: Lebih dari Sekadar Urutan

Secara bahasa, tertib bermakna teratur dan berurutan. Tapi dalam kerangka syariat dan kehidupan, tertib mencerminkan nilai ketertiban, yakni keteraturan sistemik yang menumbuhkan kedisiplinan dan efektivitas. Ketertiban bukan hanya teknis ibadah, tetapi cerminan dari jiwa yang menghargai proses, aturan, dan struktur.

Dalam wudhu, ketertiban berarti membasuh anggota tubuh dengan urutan yang telah ditentukan, tidak melompat-lompat, tidak terburu-buru, tidak asal selesai. Ketertiban adalah bentuk konkret dari disiplin spiritual, bahwa untuk mencapai kesucian pun dibutuhkan aturan dan keteraturan.

Ketertiban sebagai Budaya Disiplin dan Efisiensi

Ketertiban memiliki efek langsung dalam kehidupan sehari-hari. Ia menata tindakan, menertibkan pikiran, dan menyederhanakan proses. Dalam wudhu, ketertiban membuat ibadah menjadi efisien  tidak ada bagian yang terlewat, tidak ada yang diulang karena keliru. Prosesnya tepat, hasilnya sah, jiwanya pun tenang.

Begitu pula dalam hidup. Ketertiban adalah akar dari efektivitas dan efisiensi. Orang yang hidupnya tertib akan mampu menyelesaikan banyak hal dengan sedikit kekacauan. Ia tahu apa yang harus didahulukan, ia menghindari tumpang tindih pekerjaan, dan ia bergerak dengan arah yang jelas.

Dalam istilah manajemen modern, ketertiban adalah bagian dari standard operating procedure (SOP)  sistem kerja yang rapi, urut, dan bisa diulang dengan hasil yang konsisten. Islam telah meletakkan dasar itu dalam ibadahnya. Maka, wudhu bukan hanya bentuk kesucian, tapi juga latihan keteraturan hidup.

Ketertiban sebagai Pilar Peradaban

Ketertiban adalah nilai yang tumbuh dari syariat dan berbuah dalam peradaban. Masyarakat yang memuliakan ketertiban akan jauh dari kekacauan, lebih produktif, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman. Ketertiban bukan hanya etika individu, tapi sistem sosial yang menjamin keadilan, keseimbangan, dan kemajuan.

Dari wudhu yang tampak sederhana, kita belajar bahwa ketertiban adalah fondasi dari disiplin, efisiensi, dan keberhasilan. Karena itu, menjaga tertib bukan hanya bagian dari kesempurnaan ibadah, tetapi juga jalan menuju kematangan diri dan kebangkitan umat.

Ketertiban adalah tanda hadirnya akal, bukti kuatnya iman, dan dasar terbentuknya peradaban yang bermartabat.

Wallahu 'alam

Abu Roja

Hikmah, Hakikat dan Kedudukan Saum Arafah

Setiap ibadah dalam Islam bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan jendela untuk menyelami makna hidup dan menjalin perjumpaan batiniah dengan Allah Swt. Di antara ibadah yang sarat nilai ruhani adalah saum Arafah puasa yang disunnahkan pada 9 Dzulhijjah, sehari sebelum Idul Adha. Ia bukan sekadar amalan sunah, tetapi simpul spiritual yang menghubungkan kita dengan momen agung di Padang Arafah tempat jutaan jamaah haji berkumpul dalam puncak ibadah mereka.

Saum Arafah memiliki kedudukan yang agung. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. (HR. Muslim)

Namun, puasa ini bukan sekadar sarana mengejar pahala, melainkan ruang penyadaran diri yang dalam. Ia menyimpan tiga lapis kedalaman: sebagai bentuk solidaritas ruhani, sarana ma‘rifah yang menyucikan jiwa, dan simpul perjuangan peradaban tauhid.

Pertama, saum Arafah adalah solidaritas ruhani dengan para jamaah haji. Saat mereka berwukuf di Arafah berdiri, berdoa, dan memohon ampunan—kaum Muslimin yang tidak berhaji berpuasa sebagai bentuk penyatuan hati dalam momentum pengampunan universal. Ia adalah bahasa spiritual yang menyatukan yang hadir secara fisik dan yang hadir dengan jiwa.

Kedua, hakikat saum Arafah adalah latihan ma‘rifah mengenal Allah secara lebih dalam dan eksistensial. Ma‘rifah bukan semata pengetahuan kognitif, tetapi penyadaran ruhani akan kehadiran dan kemahakuasaan Allah sebagai Rabb, Malik, dan Ilah.

Sebagai Rabb, Allah adalah Pemelihara segala urusan hidup. Maka saum Arafah menanamkan rasa bergantung total kepada-Nya.

Sebagai Malik, Dia adalah Pemilik mutlak kehidupan dan kematian. Maka puasa ini mengingatkan bahwa dunia bukan milik kita, dan kita bukan siapa-siapa tanpa izin-Nya.

Sebagai Ilah, hanya Dia yang berhak disembah. Maka saum ini mendidik jiwa agar tak diperbudak oleh nafsu, dunia, atau selain-Nya.

Dalam kesunyian puasa dan penahanan diri, ruang kontemplasi terbuka. Perut yang kosong dan syahwat yang ditahan menjadikan suara langit lebih mudah terdengar. Jiwa pun lebih jujur mengakui kelemahannya dan lebih siap menerima cahaya ma‘rifah.

Ketiga, saum Arafah bukan hanya ibadah personal, melainkan bagian dari peta besar sejarah Islam. Ia berpuncak pada khutbah Arafah dalam Haji Wada’ khutbah monumental Rasulullah ﷺ yang menjadi deklarasi misi umat hingga akhir zaman. Khutbah ini tidak bisa dipisahkan dari peristiwa Futuh Makkah saat kota suci dibebaskan dari belenggu jahiliah. Maka saum Arafah, khutbah Arafah, dan futuh Makkah adalah mata rantai dari proyek peradaban tauhid.

Dalam khutbahnya, Rasulullah ﷺ bersabda:"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci, sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini, dan negeri ini...

Semua perkara jahiliah telah dihapus di bawah kedua telapak kakiku...

Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita...

Aku tinggalkan bagi kalian dua hal; kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya..."

"Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Boleh jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari yang mendengar langsung."

Khutbah ini bukan sekadar petuah spiritual, melainkan amanat strategis risalah kenabian. Ia adalah blueprint peradaban Islam—dibangun di atas fondasi tauhid, keadilan, penghormatan terhadap manusia, dan komitmen kepada wahyu. Wukuf di Arafah adalah syura ruhani dan konferensi global umat dalam bingkai penghambaan. Sedangkan saum Arafah adalah simpul batin yang menyambungkan kita dengan momen tersebut, meski raga kita tak hadir di sana.

Futuh Makkah membuka gerbang kekuasaan. Arafah merumuskan arah peradaban. Dan khutbah Rasulullah ﷺ menjadi konstitusi dakwah yang diwariskan lintas generasi.

Idealnya, para haji yang kembali ke tanah air bukan hanya membawa oleh-oleh dan kenangan spiritual, tapi membawa amanat dakwah. Mereka hadir di tempat khutbah itu dikumandangkan. Maka seyogianya mereka menjadi penyambung risalah Rasulullah ﷺ menyeru tauhid, menegakkan keadilan, dan membangun tatanan umat.

Haji bukan sekadar ibadah individual, melainkan bekal perjuangan kolektif. Setiap jamaah haji adalah duta Arafah, penyambung khutbah Nabi, dan pembawa proyek langit di bumi. Sungguh merugi jika haji hanya menjadi gelar, bukan tekad mentegakkan Din dan  membangun umat.

Di tengah dunia yang bising dan penuh ilusi, saum Arafah adalah momen jeda perenungan jiwa pada waktu untuk bertanya pada diri: Apakah aku sedang mendekat kepada Allah atau menjauh dari-Nya? Ia menjadi ruang perenungan, penyucian, dan persiapan untuk menyambut Idul Adha hari raya pengorbanan.

Ia juga mengingatkan kita pada keteladanan Ibrahim dan Ismail, bahwa iman sejati berarti kesiapan untuk tunduk dan berkorban. Maka saum Arafah bukan hanya latihan menahan lapar, tetapi upaya menumbuhkan itsar yaitu mendahulukan kehendak Allah atas keinginan diri.

Akhirnya, siapa pun yang beriman dan mampu, jangan lewatkan saum Arafah. Ia bukan sekadar peluang diampuni dosa, tetapi medan latihan ma‘rifah, penyambung khutbah Nabi, dan tanda kesungguhan kita menapaki jalan menuju Allah. Saum ini adalah simpul spiritual dalam peta risalah Islam ibadah sunyi yang menyatukan kita dengan cahaya tauhid dan misi kenabian yang terus hidup.

Wallahu 'alam 

Abu Roja

Mengambil Makna Istilah Sejarah dalam Al-Qur'an: An-Naba’ dan Al-Qashash

Di tengah modernitas yang menggilas ingatan kolektif, sejarah seringkali dipandang hanya sebagai mata pelajaran. Ia menjadi hafalan tanpa makna, deretan tanggal dan nama yang lepas dari relevansi. Sebagian orang ingin melupakannya karena terlalu banyak luka. Sebagian lagi tak pernah menganggapnya penting, seolah apa yang terjadi kemarin tidak akan pernah terulang hari ini. Lebih tragis lagi, sejarah dianggap netral, tanpa hubungan dengan iman, ideologi, ataupun arah perjuangan umat.

Namun, Al-Qur’an membongkar cara pandang itu. Kitab suci ini bukan buku sejarah dalam pengertian akademik. Ia tidak menyusun kronologi panjang umat manusia seperti sejarawan. Tetapi apa yang ia sebut, ia sampaikan, dan ia ajarkan—semua adalah kebenaran yang hakiki. Ia bukan fiksi, bukan narasi dongeng, bukan opini sepihak. Ia adalah wahyu dari Zat yang Maha Mengetahui segala hal, dari awal penciptaan hingga hari pembalasan. Sejarah dalam Al-Qur’an adalah jalan hidup, cermin makna, dan petunjuk zaman.

Dua istilah dalam Al-Qur’an membuka pintu pemahaman kita tentang hal ini: An-Naba’ dan Al-Qashash.

An-Naba’: Melampaui Waktu, Mencakup Zaman

Secara bahasa, an-naba’ berarti "berita besar". Dalam konteks Qur’ani, ia sering merujuk pada kabar tentang hari kebangkitan, akhirat, dan perhitungan amal. Namun lebih dari itu, an-naba’ memuat cara pandang ilahiah terhadap sejarah sebagai satu kesatuan utuh: masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.

Al-Qur’an mengajak manusia menyadari bahwa sejarah tidak berdiri sendiri. Masa lalu bukan hanya catatan, ia adalah sebab dari masa kini. Masa kini bukan ruang bebas, ia adalah kelanjutan dari alur nilai dan peristiwa. Dan masa depan bukan misteri buta, ia dapat diarahkan melalui pelajaran hari ini.

Dalam kerangka an-naba’, sejarah menjadi berita penting yang memuat peringatan dan ibrah. Ia memberi orientasi: siapa kita, dari mana kita berasal, ke mana kita menuju, dan untuk apa kita hidup. Maka sejarah bukan hanya memuat apa yang telah terjadi, tapi juga menyusun makna hidup manusia.

Al-Qashash: Kisah Perjuangan Kebenaran dan Sunnatullah Kehidupan

Jika an-naba’ memberi cakupan luas lintas waktu, maka al-qashash memberi fokus pada narasi nyata umat terdahulu khususnya para nabi dan umat yang mereka hadapi. Ini bukan kisah fiksi. Ini adalah sejarah konkret. Al-Qur’an menyebutnya sebagai "ahsanal qashash", kisah terbaik, karena memuat makna hidup yang paling tinggi: perjuangan al-Haq melawan al-Bathil.

Kisah Musa dan Fir’aun, misalnya, bukan hanya soal penindasan dan pembebasan. Ia adalah pelajaran ideologis, politik, ekonomi, budaya, dan spiritualitas. Ia menunjukkan:

  • bagaimana sistem zalim dibangun dan dipertahankan,
  • bagaimana masyarakat dijauhkan dari tauhid melalui propaganda dan sihir kekuasaan,
  • bagaimana Allah menegakkan sunnatullah dalam sejarah: bahwa kebatilan sebesar apapun, jika berhadapan dengan iman yang teguh, akan binasa pada waktunya.

Al-Qashash mengajarkan kita bahwa sejarah para nabi bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk diteruskan. Jalan mereka adalah jalan kita. Sunnatullah yang mereka alami, adalah hukum yang juga akan kita temui.

Memulihkan Cara Pandang terhadap Sejarah

Kesalahan dalam memahami sejarah seringkali bersumber dari keterputusan manusia dari makna wahyu. Sejarah dianggap mati, kaku, dan netral. Padahal dalam pandangan Qur’ani, sejarah adalah sumber hikmah dan bahan renungan, tempat manusia membaca jejak dirinya, bangsanya, dan peradabannya.

Sejarah dalam Al-Qur’an bukan hanya cerita, tapi jalan perjuangan yang masih terbuka. Ia bukan nostalgia, tapi tanggung jawab. Dan tak ada ibrah tanpa keterlibatan akal dan jiwa. Itulah sebabnya ayat-ayat kisah selalu ditutup dengan seruan kepada "ulul albab", "kaum yang berakal", "orang-orang yang mengambil pelajaran".

Sejarah: Jalan Terbuka untuk Mereka yang Mau Membaca

Dari an-naba’, kita belajar untuk melihat sejarah sebagai rangkaian nilai dan arah hidup manusia dalam skala besar, hingga ke akhirat. Dari al-qashash, kita belajar bahwa sejarah adalah ladang perjuangan, penuh pengorbanan dan sunnatullah, yang akan terus berulang dengan wajah-wajah baru.

Al-Qur’an tidak pernah menyuruh kita hidup di masa lalu. Tapi ia memerintahkan kita untuk membaca masa lalu, agar tidak buta hari ini dan tidak terjatuh di lubang yang sama esok hari.

Maka, sejarah dalam pandangan wahyu bukan untuk dibicarakan sambil lalu. Ia adalah bagian dari iman, dan cahaya bagi perjuangan. Siapa yang melupakannya, akan kehilangan arah. Siapa yang memahaminya, akan mampu menempatkan dirinya sebagai mata rantai dari sebuah misi yang agung: misi kenabian.

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat ibrah bagi orang-orang yang berakal." (QS. Yusuf: 111)

Wallahu 'alam 

Abu Roja 

Makna Qurban: Meneguhkan Tauhid, Membebaskan Diri dari Belenggu Dunia

Ibadah qurban merupakan salah satu syariat Islam yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyrik (11–13 Dzulhijjah). Qurban bukan sekadar penyembelihan hewan ternak seperti kambing, sapi, atau unta, tetapi merupakan simbol dari ketaatan, pengorbanan, dan pembebasan diri dari keterikatan kepada selain Allah SWT.

Secara etimologis, kata qurban berasal dari bahasa Arab :  qaruba - yaqrubu - qurbanan, yang berarti “dekat”. Dengan demikian, ibadah qurban dimaknai sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah melalui pengorbanan yang nyata. Hal ini merujuk pada peristiwa historis yang monumental, yakni pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Keduanya menunjukkan ketundukan sempurna kepada perintah Allah, hingga Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan sebagai bukti diterimanya pengorbanan tersebut.

Makna qurban tidak berhenti pada aspek historis dan ritual. Ia mengandung pelajaran penting tentang keikhlasan dan pembebasan jiwa dari belenggu dunia. Dalam praktiknya, qurban merupakan simbol penyembelihan terhadap segala bentuk ketergantungan duniawi yang dapat menghalangi manusia dari ketundukan total kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (QS. 9:24).

Harta, kedudukan, cinta terhadap makhluk, dan hawa nafsu bisa menjadi “berhala-berhala” modern yang memperbudak jiwa. Maka qurban hadir untuk mengajarkan umat agar bersedia melepaskan apa pun yang dicintai apabila itu menjadi penghalang dalam menaati Allah.

Sebagaimana firman Allah:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (QS. 3:14).

Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap dunia adalah fitrah, namun bisa menjadi cobaan yang menjerumuskan jika tidak dikendalikan. Qurban menjadi ajang pelatihan spiritual untuk mengendalikan kecintaan itu agar tidak mengalahkan kecintaan kita kepada Allah SWT.

Allah SWT juga berfirman:

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (QS. 22:37).

Ayat ini menegaskan bahwa yang paling bernilai dalam ibadah qurban adalah ketakwaan. Pengorbanan yang sejati adalah pengorbanan yang mengakar dari hati yang ikhlas, bukan semata-mata simbolik.

Di sisi lain, qurban juga memuat nilai sosial yang tinggi. Daging sembelihan dibagikan kepada kaum fakir dan miskin, serta kerabat dan tetangga. Ini menunjukkan bahwa ibadah qurban bukan hanya bentuk pendekatan vertical kepada Allah, tetapi juga membangun hubungan  horizontal dengan sesama manusia. Dengan demikian, qurban mengokohkan prinsip keadilan sosial dan solidaritas umat.

Pada akhirnya, qurban merupakan momentum tahunan yang mengingatkan setiap muslim untuk meneguhkan tauhid, memperbarui keikhlasan, serta membebaskan diri dari berbagai bentuk perbudakan dunia yang menghalangi kedekatan kepada Allah. Dalam qurban terdapat pelajaran bahwa kemerdekaan sejati bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan ketundukan penuh kepada Dzat yang Mahakuasa.

Wallahu a'lam

Abu Roja