Senin, 30 Juni 2025

Qira’ah Kehidupan: Kesadaran Sebagai Makhluk dalam Narasi Agung Al-Khaliq

Di tengah gelombang zaman yang penuh ambisi, kebingungan, dan kekosongan makna, manusia sering kali tersesat dari satu pencarian ke pencarian lain, tanpa pernah benar-benar mengenal siapa dirinya. Padahal, dari satu qira’ah yang jernih yakni membaca dan merenungkan hakikat diri dan kehidupan manusia akan tiba pada satu titik terang ia adalah “Makhluk”, ciptaan Allah “Al-Khaliq”. Kesadaran ini bukan sekadar informasi keagamaan, melainkan bagian dari Narasi Agung, yang sakral dan transenden, tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali.


Allah sebagai Al-Khaliq:Asal Usul dan Arah Tujuan

Dalam Al-Qur'an, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai “Al-Khaliq” Pencipta segala yang ada. Ia menciptakan manusia bukan tanpa maksud, tapi dengan tujuan yang luhur:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.”(Qs. 51: 56)

Manusia diciptakan untuk mengenal, menyembah, dan hidup dalam keterikatan spiritual kepada Tuhannya. Dari kesadaran ini, tumbuh “Taslim” yakni ketundukan dan kepasrahan terhadap kehendak Allah. “Taslim” bukan bentuk kelemahan, tetapi pengakuan jujur dan utuh bahwa kita tidak memiliki apa-apa selain dari yang telah Allah titipkan. “Taslim” menerima, menyerah, tunduk dan patuh terhadap-Nya, “Taslim” adalah Sikap yang lahir dan tumbuh dari dasar pemahaman seseorang terhadap status diri yang serba doif dan bergantung. Tidak memiliki kekuatan dan kemampuan, tidak bisa hidup berdiri sendiri, serta fakir dihadapan Allah yang maha Alim, maha kuasa dan maha besar, sehingga seluruh eksistensi dirinya sangatlah bergantung sepenuhnya kepada Alloh dalam seluruh hidup dan kehidupan. Qs:6: 71-72

 

Ma‘rifatullah:Jalan Menuju Ketauhidan

Kesadaran sebagai makhluk akan menemukan bentuk terdalamnya ketika seseorang menempuh jalan “Ma‘rifatullah” mengenal Allah secara hakiki, bukan sekadar mengenal nama-Nya, tetapi memahami sifat, kehendak, dan kasih sayang-Nya melalui perenungan ayat-ayat kauniyah dan qauliyah.

Melalui “Ma‘rifatullah”, akan tumbuh akar kokoh dalam diri manusia: Aqidah Tauhid pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Zat yang berhak disembah dan menjadi "Pusat" ketergantungan. Dari “Tauhid” ini akan lahir sikap: Iman Yang Hidup, bukan hanya dalam keyakinan, tapi juga dalam tindakan: bertakwa dalam ketaatan, bersabar dalam ujian, dan bertawakal dalam segala urusan.

 

Keteladanan Nabi Ismail:Taslim dalam Iman dan Tawakal

Kisah Nabi Ismail ‘alaihis salam menjadi teladan abadi dalam bagaimana seorang makhluk menampakkan “Taslim” sejati kepada "Al-Khaliq". Ketika ayahnya, Nabi Ibrahim, mendapat perintah untuk menyembelihnya, Ismail tidak memberontak. Ia tidak bertanya mengapa. Ia tidak lari. Ia menjawab dengan kalimat yang menunjukkan betapa dalamnya “Iman” dan “Tauhid” yang tertanam melalui “ma‘rifatullah”:

"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."(Qs. 37: 102)

Sikap Nabi Ismail menunjukkan bahwa seorang makhluk yang telah mengenal Tuhannya tidak lagi takut kehilangan dunia. Ia tahu, yang paling penting bukan mempertahankan hidup, tapi tunduk pada kehendak-Nya. Inilah puncak dari “Taslim” pasrah yang bukan putus asa, tapi penuh “Iman”.

 

Dari Kesadaran sebagai Makhluk:Menuju Pertanggungjawaban

Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah makhluk, dan bahwa hidup ini adalah ladang ujian, ia akan hidup dengan arah dan tanggung jawab. Ia tidak lagi mengandalkan egonya, tapi menggantungkan hati kepada Allah. Ia tahu bahwa dunia bukan tujuan, melainkan tempat berlalu. Dan pada akhirnya, ia akan kembali kepada Al-Khāliq untuk mempertanggungjawabkan hidupnya.

“Dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.(Qs. 39: 44)

Kesadaran ini melahirkan kewaspadaan moral, pengendalian diri, dan kehati-hatian dalam melangkah. Ia tidak berani melalaikan hidup, karena sadar bahwa setiap detik adalah amanah, dan setiap amal akan dibuka pada Hari Pengadilan.

 

Kesadaran Sakral dan Transenden:Hidup dalam Kehendak Sang Pencipta

Sebagai bagian dari “Narasi Agung” itu, hidup manusia menjadi “sakral” dan “transenden”. Setiap langkah, pilihan, dan pengalaman, bukan sekadar peristiwa duniawi, tetapi bagian dari perjalanan menuju perjumpaan kembali dengan Sang Al-Khaliq. Hidup menjadi ladang ujian, tempat manusia menunjukkan sejauh mana ia mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Tuhannya.

Dalam sakralitas dan transendensi ini lahir sikap “Taslīm ketundukan dan kepasrahan. Manusia menerima bahwa dirinya terbatas, bahwa ia tidak bisa mengendalikan segala hal, dan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa penuh atas hidup dan kematian. Tapi dari keterbatasan itulah tumbuh kekuatan "kekuatan untuk bertawakal, bersabar, dan terus berharap kepada-Nya".


Wallahu ‘alam

Abu Roja

Kamis, 26 Juni 2025

Sabar: Kunci Resiliensi dan Survival Seorang Muslim

"Sabar". Satu kata sederhana yang mengandung kekuatan luar biasa dalam hidup seorang Muslim. Dalam Islam, sabar bukan hanya soal menahan diri tapi merupakan energi jiwa yang melahirkan dua karakter penting: resiliensi dan survival (ketahanan)

Dua istilah ini banyak digunakan dalam dunia psikologi. Tapi sesungguhnya, Islam telah lama mengajarkan maknanya melalui satu kata: "Sabar". Sabar bukan berarti diam, apalagi pasrah. Sabar adalah kekuatan yang tenang namun kokoh, yang membuat seorang Muslim tetap tegar di tengah badai kehidupan.

Sabar: Aktif, Bukan Pasif

Dalam Islam, sabar bukan tentang berdiam diri atau menerima keadaan tanpa usaha. Sabar justru berarti tetap teguh melangkah di jalan yang benar, walau penuh rintangan.


"Sabar" adalah perpaduan antara keteguhan hati dan ketekunan dalam usaha.

Ia bukan menunggu badai berlalu, tapi terus berjalan meski hujan belum reda. Sabar menjaga seorang Muslim tetap berada dalam garis syariat. Tidak goyah oleh godaan dunia, tidak runtuh oleh tekanan zaman. Karena ia tahu, sabar adalah bagian dari jihad sehari-hari sebagai "narasi kecil"


Survival: Bertahan dengan Iman

Kata "survival" sering diartikan sebagai kemampuan bertahan hidup dalam situasi genting. Namun bagi seorang Muslim, survival bukan hanya bertahan secara fisik. Ia adalah kekuatan untuk menjaga iman di tengah krisis.

Contohnya?

Tetap shalat meski hidup sedang sulit,Tetap jujur walau ada risiko,Tetap berbuat baik meski tak dihargai.Itulah bentuk survival dalam Islam: bertahan hidup dalam nilai-nilai kebaikan dan tauhid, meski keadaan tidak bersahabat.


Resiliensi: Bangkit dan Tumbuh Kembali

Kalau "survival" adalah bertahan, maka "resiliensi" adalah kemampuan untuk bangkit setelah terjatuh. Bukan hanya kuat, tapi juga bisa belajar dari luka, dan tumbuh lebih baik.

Dalam Islam, "Resiliensi" adalah sabar yang tumbuh menjadi kekuatan.


Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh resiliensi sejati. Pernah ditolak, dihina, bahkan disakiti. Tapi beliau tidak menyerah. Beliau bangkit, dan dari penderitaan itulah lahir peradaban Islam yang penuh cahaya.


Sabar: Jalan Menuju Jiwa yang Dewasa

Sabar, survival, dan resiliensi bukan tujuan akhir. Mereka adalah jalan menuju jiwa yang matang. Jiwa yang tidak mudah menyerah, tidak mudah mengeluh, dan yakin bahwa semua ada dalam kendali Allah.

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqarah: 153)

Ini bukan hanya janji penghiburan, tapi bukti bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya yang sabar


Sabar, Nafas Panjang Seorang Mukmin

Dalam hidup yang penuh tekanan, godaan, dan ketidakpastian, sabar bukan pilihan lemah tapi kekuatan sejati.

Sabar menumbuhkan ketahanan: kemampuan untuk tetap berdiri ketika hidup menghantam.

Sabar juga melahirkan resiliensi: kemampuan untuk bangkit, belajar, dan terus tumbuh.

Seorang mukmin tidak hanya sekadar hidup. Ia hidup dengan tujuan, bergerak dengan keyakinan, dan bertahan dengan sabar. Karena dalam jiwanya tertancap ideologi, hidupnya tidak hampa.

Ia tahu bahwa setiap luka ada maknanya, setiap air mata ada nilainya, dan setiap kesabaran akan dibalas oleh Allah dengan sesuatu yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.

Maka, jika hidup terasa berat, jangan mundur. Genggam sabarmu. Jadikan ia teman seperjalanan. Karena sabar bukan tentang menunggu akhir dari penderitaan. Tapi tentang menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih dalam, dan lebih dekat dengan Allah di tengah penderitaan itu sendiri.


Inilah kekuatan sejati seorang mukmin: Ia bertahan, ia bangkit, dan ia tumbuh.

Dan semuanya dimulai dari satu hal yang terlihat sederhana, tapi nilainya luar biasa di sisi Allah:  "Sabar".



_*Untuk kamu yang sedang diuji semoga tulisan ini menjadi penguat hati. Jangan lepas genggaman sabarmu, Karena Allah tidak penah jauh  dari hamba yang sabar*_


Wallahu a'lam

Abu Roja

1 Muharram: Bukan Sekadar Tahun Baru, Tapi Awal Revolusi Peradaban

Dalam sejarah umat Islam, 1 Muharram bukanlah sekadar angka pertama dalam sistem kalender. Ia adalah simbol perubahan besar, tonggak peradaban, dan titik balik perjuangan Rasulullah ﷺ dan umat Islam. Penetapan hijrah sebagai awal kalender Islam bukan keputusan administratif, melainkan refleksi dari revolusi total dalam hidup dan masyarakat. Hijrah bukan hanya perpindahan fisik dari Mekkah ke Madinah, tapi mencerminkan transformasi ideologis, spiritual, sosial, dan politik umat Islam.


Hijratul Fikri: Revolusi Pemikiran Sebagai Pondasi

Hijrah sejati dimulai dari perubahan cara berpikir. Inilah yang disebut dengan Hijratul Fikri hijrah pemikiran dari syirik menuju tauhid. Revolusi ini mengubah cara manusia memandang kehidupan: dari menyembah berhala dan mengagungkan adat jahiliyah, menuju tauhid yang memurnikan pengabdian hanya kepada Allah.

Rasulullah ﷺ pertama kali mengarahkan dakwahnya kepada akal dan hati. Ia mengajak manusia berpikir ulang tentang siapa pencipta, apa tujuan hidup, dan untuk siapa manusia hidup dan mati. Inilah landasan perubahan: perubahan visi hidup, dari dunia menuju akhirat, dari hawa nafsu menuju petunjuk wahyu.

Hijratul Ahwali: Perubahan Sikap dan Karakter

Revolusi pemikiran tidak berarti apa-apa tanpa perubahan perilaku. Maka tahap berikutnya adalah Hijratul Ahwali hijrah kondisi jiwa dan sikap hidup. Hijrah ini melahirkan keteguhan, ketabahan, dan pengorbanan. Bukti nyatanya tercermin dalam kisah Bilal bin Rabah, keluarga Yasir, dan para sahabat lain yang mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan akidah.

Hijratul Ahwali membentuk karakter umat yang tahan uji, siap berkorban, dan tidak tergoyahkan oleh tekanan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah lepas dari kungkungan mental jahiliyah mengganti rasa takut kepada manusia menjadi takut kepada Allah semata.

Hijrah Fardi: Komunitas Tauhid dalam Wadah Jamaah

Dari pribadi-pribadi yang berhijrah inilah kemudian terbentuk komunitas kecil jamaah awal yang berpusat di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam. Inilah bentuk awal Hijrah Fardi: hijrah secara personal yang terhimpun dalam barisan jamaah.

Darul Arqam bukan sekadar tempat belajar, melainkan basis awal gerakan perubahan. Di sanalah strategi disusun, iman diperkuat, dan komitmen terhadap risalah ditanamkan. Komunitas ini tidak tunduk pada struktur kekuasaan Mekkah. Mereka menanamkan identitas dan kesetiaan hanya pada Islam, bukan pada suku atau sistem politik Quraisy. Inilah bibit perlawanan ideologis terhadap sistem jahiliyah.

Dari Darul Arqam Menuju Aqabah: Dari Jamaah Menuju Negara

Hijrah dalam skala pribadi dan komunitas akhirnya melahirkan momentum besar: pertemuan Aqabah pertama dan kedua. Delegasi dari Yatsrib (Aus dan Khazraj) datang untuk berbaiat kepada Rasulullah ﷺ. Baiat pertama menyatakan keimanan; baiat kedua menegaskan ketaatan dan kesiapan jihad. Ini adalah ekspresi dari iman yang telah berhijrah, bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara sosial dan politik.

Dari Darul Arqam ke Aqabah, dari jamaah ke umat, dari umat ke negara. Maka Madinah lahir dari Mekkah, bukan secara fisik, tetapi secara ideologis. Negara Islam tidak dibentuk dari kudeta atau kekerasan, tetapi dari konsolidasi aqidah, komitmen syari’ah, dan kesadaran umat akan pentingnya kepemimpinan Islam (qiyadah).

Hijrah Melahirkan Furqon Peradaban

Hijrah kemudian melahirkan empat “furqon” pembeda utama dalam sejarah peradaban Islam:

Furqon Aqidah: menegaskan batas antara iman dan kufur.

Furqon Syari’ah: memisahkan hukum Allah dari hukum buatan manusia.

Furqon Ummat: membedakan umat tauhid dari komunitas jahiliyah.

Furqon Qiyadah: menetapkan bahwa hanya kepemimpinan Islam yang sah dalam mengatur umat.

1 Muharram: Ajakan untuk Hijrah Kaffah

Maka 1 Muharram bukanlah seremoni atau simbol budaya. Ia adalah ajakan—untuk berhijrah. Dari sistem hidup yang bertentangan dengan Islam menuju hidup yang selaras dengan syari’ah. Dari ketundukan pada sistem manusia menuju kepatuhan penuh pada hukum Allah.

Hijrah hari ini bukan harus meninggalkan negeri, tapi meninggalkan sistem, cara pandang, dan gaya hidup yang menjauhkan dari Islam. Hijrah hari ini berarti menghidupkan kembali visi Darul Arqam membangun komunitas yang siap melahirkan peradaban Islam di tengah dunia modern.

Menjadikan Hijrah Sebagai Gerakan

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu menetapkan hijrah sebagai awal penanggalan Islam karena hijrah adalah awal dari kemenangan hak atas batil, awal dari tatanan hidup Islam berdiri tegak.

Maka marilah kita menjadikan 1 Muharram sebagai titik tolak untuk hijrah fikri, ahwali, dan fardi, menuju Islam kaffah dalam naungan syari’ah dan kepemimpinan Islam. Karena hanya dengan hijrah yang menyeluruh, umat ini akan kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam.


Wallahu 'alam

Abu Roja

Rabu, 11 Juni 2025

Sejarah dan Kehidupan Hari Ini dalam Tinjauan Aqidah Islam

Dalam pandangan Islam, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sunnatullah—hukum Allah yang berlaku dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an sendiri banyak memuat kisah-kisah umat terdahulu, bukan untuk romantisme masa silam, tetapi sebagai ibrah (pelajaran) bagi generasi berikutnya. Di sinilah aqidah Islam berperan sebagai kacamata utama dalam memaknai sejarah dan kehidupan hari ini.

Aqidah Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah ujian. Sejarah manusia dari masa Nabi Adam hingga hari ini adalah rangkaian ujian terhadap keimanan, ketaatan, dan ketauhidan. Ketika umat berpegang teguh pada tauhid dan syariat, maka kejayaan diberikan Allah, sebagaimana terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Sebaliknya, ketika tauhid digantikan dengan hawa nafsu, materialisme, atau kekuasaan semu, kehancuran menjadi akibat, seperti yang menimpa kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun.

Hari ini, tantangan umat Islam tidak lagi berupa berhala yang berbentuk patung, tetapi ideologi dan gaya hidup yang menjauhkan manusia dari tauhid: sekularisme, liberalisme, dan hedonisme. Umat disibukkan dengan dunia, tetapi melupakan hakikat kehidupan yang bersifat sementara. Dalam hal ini, aqidah Islam mengingatkan bahwa keberhasilan sejati bukan terletak pada kemajuan teknologi atau kekuatan ekonomi, tetapi pada keimanan dan amal saleh.

Melihat sejarah dengan aqidah Islam juga membentuk cara pandang yang kokoh: bahwa kemenangan dan kekalahan dalam kehidupan adalah bagian dari skenario Allah untuk menguji siapa yang paling baik amalnya. Tidak ada yang sia-sia dalam sejarah jika dijalani dengan iman. Bahkan kesulitan pun menjadi ladang pahala, sebagaimana sabda Nabi, "Sungguh menakjubkan perkara orang beriman; semua urusannya adalah kebaikan baginya." (HR. Muslim)

Oleh karena itu, generasi Muslim hari ini harus membaca sejarah bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan iman. Kita tidak cukup hanya mengagumi peradaban Islam masa lalu, tetapi harus meneladani aqidah dan prinsip yang melandasinya. Sejarah Islam adalah sejarah tauhid yang mengubah masyarakat jahiliah menjadi umat terbaik, bukan karena harta atau kekuatan militer, tetapi karena aqidah yang murni dan kokoh.

Maka, bila hari ini kita ingin melihat perubahan dan kebangkitan, kita harus mulai dari akar: membangun kembali aqidah Islam dalam diri, keluarga, dan masyarakat. Sebab dalam Islam, kebangkitan bukan hasil dari strategi manusia semata, tetapi janji Allah bagi mereka yang beriman dan beramal sholeh Qs.24:55.


Wallahu 'alam

Abu Roja.

Jejak Siti Hajar: Pelajaran dari Shafa dan Marwa

 Setiap musim haji dan umrah, jutaan umat Islam dari seluruh dunia menapaki jalan antara bukit Shafa dan Marwa, meneladani langkah-langkah Siti Hajar dalam pencarian air bagi anaknya, Ismail. Gerakan berlari-lari kecil yang dikenal sebagai sa’i ini bukan sekadar ritual fisik, melainkan simbol spiritual yang kaya akan pelajaran kehidupan, terutama tentang iman, perjuangan, dan tawakal.

Siti Hajar bukanlah seorang tokoh biasa. Ia adalah seorang ibu yang ditinggalkan di padang gersang Makkah oleh suaminya, Nabi Ibrahim, atas perintah Allah. Dalam kondisi yang tampak mustahil untuk bertahan hidup, ia menunjukkan keberanian luar biasa. Ketika persediaan air habis, dan Ismail menangis kehausan, Siti Hajar tidak duduk meratapi nasib. Ia bangkit dan berlari antara dua bukit, tujuh kali, berharap menemukan sumber kehidupan. Gerakan ini, yang kemudian diabadikan dalam syariat, menggambarkan usaha manusia yang maksimal meski hasilnya di luar kendali.

Ada makna mendalam dalam lari-lari kecil itu. Pertama, ikhtiar tanpa henti. Siti Hajar tahu bahwa hanya Allah yang bisa memberi air, tapi ia tetap berusaha sekuat tenaga. Dalam hidup, kita juga sering dihadapkan pada situasi sulit—keuangan, kesehatan, hubungan, dan masa depan yang tak pasti. Namun seperti Siti Hajar, kita diajarkan untuk tidak menyerah, untuk terus bergerak dan berusaha, meski hasilnya belum terlihat.

Kedua, tawakal yang sejati. Setelah berikhtiar penuh, Siti Hajar tidak protes atau menyalahkan takdir. Ia menyerahkan hasilnya kepada Allah, dan dari tanah yang tandus itu, Allah memancarkan air Zamzam—tanda bahwa di balik keterbatasan manusia, selalu ada kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas.

Ketiga, peran seorang ibu dan kekuatan perempuan. Dalam kisah ini, Allah memilih sosok perempuan sebagai teladan perjuangan. Ini mengangkat martabat perempuan dalam Islam, menegaskan bahwa kekuatan spiritual, ketangguhan emosional, dan peran ibu dalam membentuk peradaban adalah hal yang sangat dihargai dalam Islam.

Akhirnya, perjalanan Siti Hajar bukan sekadar sejarah, melainkan cermin bagi setiap insan. Kita semua adalah "Hajar-Hajar" yang sedang menapaki lembah ujian, mencari jalan keluar di antara "Shafa dan Marwa" kehidupan. Dan seperti Siti Hajar, selama kita tetap bergerak, tetap berdoa, dan tetap percaya, maka akan ada "Zamzam" yang Allah pancarkan, sering kali dari arah yang tak pernah kita sangka.

Wallahu 'alam

Abu Roja

Makna Ketaatan Nabi Ismail kepada Allah Terkait Mimpi Nabi Ibrahim

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan salah satu narasi agung dalam Al-Qur'an yang menggambarkan ketundukan mutlak kepada kehendak Allah SWT. Ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya sebagai bentuk perintah Ilahi, ia menyampaikannya kepada Ismail dengan jujur. Menakjubkannya, Ismail menjawab dengan penuh keyakinan, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”(QS. Ash-Shaffat: 102). Ketaatan luar biasa inilah yang menjadi pusat renungan umat Islam setiap kali membaca kisah ini.

Namun, ketaatan Ismail bukanlah sesuatu yang tumbuh tiba-tiba. Ia adalah buah dari proses panjang pembinaan keluarga yang dimulai dari keteladanan ayahnya, Nabi Ibrahim, dan kelembutan serta keimanan ibunya, Siti Hajar. Siti Hajar adalah perempuan tangguh dan taat, yang dengan sabar tinggal di lembah tandus Makkah bersama bayinya, tanpa keluhan, atas perintah Allah melalui suaminya. Ia percaya pada janji Allah, dan dari keimanannya itulah ia mendidik Ismail kecil dengan penuh keyakinan kepada Tuhan.

Siti Hajar tidak hanya berperan sebagai ibu yang mengasuh, tapi juga sebagai guru kehidupan yang mengajarkan kepercayaan mutlak kepada Allah, bahkan di tengah kesulitan. Keputusannya untuk bolak-balik antara Shafa dan Marwah, demi mencari air bagi putranya, kini diabadikan sebagai bagian dari ibadah haji  menandakan bahwa perjuangan seorang ibu dalam iman adalah bagian dari warisan spiritual umat.

Di sisi lain, peran Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah juga sangat penting. Ia tidak hanya mendidik Ismail secara langsung, tetapi juga membentuk keimanan istrinya. Kepemimpinan spiritualnya dalam keluarga tercermin dari bagaimana Siti Hajar mendukung perintah Allah tanpa ragu, dan bagaimana Ismail bersikap sabar dan ikhlas saat diperintahkan untuk disembelih.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa ketaatan anak kepada Allah adalah cerminan dari kualitas pendidikan dalam keluarga. Seorang ibu yang shalehah seperti Siti Hajar tidak hadir dengan sendirinya, _ia adalah hasil dari bimbingan suami yang memimpin dengan wahyu dan keteladanan._ Dan dari keduanya lahirlah generasi seperti Nabi Ismail, yang imannya sudah tumbuh kuat sejak dini.

Dengan demikian, makna ketaatan Nabi Ismail bukan hanya tentang kepasrahannya pada perintah Allah, tetapi juga tentang keberhasilan orang tuanya dalam membina rumah tangga yang berporos pada iman dan tauhid. Kisah ini mengajak kita menata kembali pendidikan keluarga: bahwa mencetak generasi yang taat tidak cukup hanya dengan instruksi, tetapi dengan teladan, keteguhan, dan kerjasama antara suami dan istri dalam menjalankan peran sebagai pendidik.


Wallahu 'alam

Abu Roja

Menggugat Keberislaman Simbolik: Jalan Menuju Islam Kaffah

Di tengah maraknya simbolisasi agama dalam ruang publik dan kehidupan sosial, muncul pertanyaan mendasar: Apakah keberislaman kita telah menyentuh substansi, atau sekadar berhenti pada permukaan? Islam, dalam hakikatnya, bukan hanya tentang apa yang tampak, tetapi tentang bagaimana kita hidup secara menyeluruh sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah. Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, dia musuh yang nyata bagi kalian."(QS. 2: 208)

Ayat ini adalah seruan keras sekaligus ajakan halus untuk meninggalkan keberislaman yang parsial yang hanya dipakai saat nyaman, dimanfaatkan saat butuh, atau dihidupkan dalam perayaan semata. Islam bukan tempelan identitas, bukan simbol politik, bukan komoditas ekonomi, bukan pula warisan budaya. Islam adalah jalan hidup total dan menyeluruh.

Islam Identitas: Ketika Label Menggantikan Substansi

Banyak yang menyandang nama Islam, namun tak mengenal siapa Allah yang disembah. Nama-nama Islami, gelar-gelar agamis, pakaian syar’i, kadang hanya berfungsi sebagai penanda sosial, bukan penunjuk jalan hidup. Islam identitas dapat memperkuat komunitas, namun juga bisa menjadi jebakan ego kolektif jika tidak ditopang ilmu dan amal. Identitas yang tidak berisi nilai akan mudah dimanipulasi dan diperjualbelikan.

Islam Ritual: Gerak Tanpa Jiwa

Ritual Islam seperti shalat dan puasa adalah kewajiban utama. Namun, Islam bukan hanya soal rukuk dan sujud, tetapi juga kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. Ketika ritual kehilangan maknanya, ia berubah menjadi rutinitas kosong. Sejarah Nabi menunjukkan bahwa shalat membentuk pribadi jujur dan amanah, bukan sekadar formalitas.

Rasulullah ﷺ tidak hanya mendirikan shalat, tetapi mengajarkan bahwa shalat yang benar mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Islam Politik: Kuasa atau Dakwah?

Ada yang mengibarkan panji Islam untuk merebut kekuasaan. Namun, yang diperjuangkan seringkali bukan syariat, melainkan kursi. Rasulullah ﷺ mendirikan negara di Madinah bukan demi kekuasaan, tapi untuk menegakkan keadilan dan menyelamatkan manusia. Politik dalam Islam adalah sarana dakwah, bukan alat ambisi.

"Sungguh, pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kalian..."(QS. 33: 21)

Beliau adalah pemimpin yang menangis di malam hari dan berjuang di siang hari. Kuasa baginya adalah amanah, bukan kemewahan.

Islam Fulusiyah: Agama Dijual Murah

Simbol Islam kini menjadi alat dagang: makanan halal, busana syar’i, wisata religi, hingga konten dakwah yang dimonetisasi. Memang, tidak salah mengambil manfaat dunia dari nilai Islam, selama tidak mencemari keikhlasan. Tapi jika “syariah” hanya jadi stiker pemikat pasar, sementara perilakunya jauh dari kejujuran, maka itu adalah bentuk eksploitasi terhadap kesucian agama.

Islam Keturunan: Warisan Tanpa Pemahaman.

Banyak Muslim lahir dalam keluarga Islam, tetapi tidak memahami Islam yang mereka warisi. Mereka Muslim secara administratif, tapi belum tentu secara ideologis dan moral. Keimanan tidak diturunkan, ia ditumbuhkan. Nabi ﷺ sendiri tidak diwariskan Islam oleh keluarganya, tetapi mencarinya lewat kebenaran dan wahyu.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah."(QS. 2: 218)

Artinya, iman menuntut pembuktian, bukan sekadar status.

Islam Seremonial: Ramai Tapi Sepi Makna

Kegiatan Islam seremonial seperti Maulid, buka puasa bersama, dan perayaan hari besar, sering menjadi tradisi tahunan yang meriah. Namun, apakah semua itu membentuk akhlak dan menghidupkan iman? Ataukah hanya menjadi perayaan kosong yang tidak berdampak pada moral? Nabi Muhammad ﷺ tidak sibuk membesarkan acara, tapi membesarkan jiwa manusia.

Meneladani Nabi: Tafsir Hidup dari Wahyu

Jika Al-Qur’an adalah teks suci, maka kehidupan Rasulullah ﷺ adalah tafsir aplikatifnya. Ia tidak hanya mengajarkan Islam, tetapi menjalaninya dalam semua dimensi kehidupan: sebagai suami, pedagang, pemimpin, dan pejuang. Maka untuk memahami Islam secara kaffah, kita harus membaca bukan hanya kitab suci, tetapi juga sirah Nabi. Tanpa itu, kita akan mudah tersesat dalam Islam versi kita sendiri yang mungkin hanya menuhankan simbol, bukan nilai.

Penutup : Menuju Islam yang Hidup

Kita hidup di zaman di mana agama mudah digunakan untuk segalanya kecuali untuk menyelamatkan manusia. Islam kaffah bukan tentang ekstremisme, bukan juga tentang ritualisme, tapi tentang keseimbangan iman, amal, dan akhlak.

Mari kita kembali pada Islam sebagaimana yang diajarkan Nabi ﷺ—Islam yang tidak hanya dipakai, tetapi dihayati; tidak hanya dirayakan, tapi diperjuangkan; tidak hanya dikutip, tapi dijalani.

Islam bukan milik siapa-siapa. Ia adalah jalan hidup yang diberikan Allah untuk membimbing siapa saja yang bersedia tunduk secara utuh tanpa syarat, tanpa syarat, tanpa tapi


Wallahu 'alam

Abu Roja