Mengenal Umar bin Abdul Aziz
Pengantar
Suatu
ketika Khalifah Umar bin Khattab melakukan inspeksi malam hari untuk melihat
langsung kondisi umatnya. Di sebuah rumah, ia mendengar percakapan antara
seorang ibu dengan putrinya. Sang ibu menyuruh putrinya mencampur susu dengan
air agar mendapat keuntungan lebih, tetapi putrinya menolak dengan berkata,
"Bagaimana mungkin kita melakukan hal ini, padahal Amirul Mukminin
melarang mencampur susu dengan air?" Sang ibu beralasan, “Amirul Mukminin
tidak melihat kita.” Namun, dengan tegas, putrinya menjawab, “Jika Amirul
Mukminin tidak melihat, maka Allah tetap melihat kita.”
Ketegasan
dan ketaqwaan jawaban gadis itu sangat mengesankan Khalifah Umar bin Khattab.
Esok harinya, Umar mencari tahu tentang gadis tersebut dan akhirnya menikahkannya
dengan putranya, Ashim bin Umar bin Khattab. Dari keturunan mereka, lahirlah
Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz
Umar
bin Abdul Aziz lahir pada tahun 682 M (63 H) di Madinah. Ia adalah cicit dari
Umar bin Khattab melalui garis ibunya, Laila binti Ashim. Ayahnya, Abdul Aziz
bin Marwan, adalah seorang tokoh penting dalam Dinasti Umayyah, Umar bin abdul Aziz menikah dengan Fatimah binti Abdul Malik, putri
Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 717 M setelah sepupunya, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, wafat. Meskipun berasal dari keluarga Dinasti Umayyah yang berbasis monarki (turun temurun), Umar berusaha mengembalikan prinsip-prinsip syuro (musyawarah) seperti yang diterapkan oleh Khulafaur Rasyidin. Sebagai khalifah, ia memerintah selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan hingga wafat pada tahun 720.
Reformasi sistem pemerintahan Monarki Menjadi
Sistem Syuro
Umar
bin Abdul Aziz bertekad untuk mengembalikan sistem pemerintahan Islam dari
monarki turun-temurun yang diterapkan oleh Bani Umayyah, menjadi sistem syuro
yang lebih adil seperti pada masa Khulafaur Rasyidin. Salah satu langkah
awalnya adalah mengurangi hak istimewa keluarga Bani Umayyah, dan mengembalikan
harta yang sebelumnya diambil secara tidak adil ke Baitul Mal (kas negara). Ia
juga menghapus pajak-pajak yang memberatkan rakyat dan memfokuskan kebijakan pada
kesejahteraan umat.
Reformasi
Umar bin Abdul Aziz ini sangat berdampak pada banyak pihak, terutama mereka
yang merasa diuntungkan oleh sistem monarki. Oleh karena itu, banyak yang tidak
senang dengan kebijakan Umar dan berusaha menjatuhkannya. Pada tahun 720 M,
Umar diracun oleh seorang pelayan yang disuap oleh lawan-lawan politiknya.
Setelah sakit beberapa hari, Umar bin Abdul Aziz wafat pada usia 39 tahun.
Pernyataan Umar bin Abdul Azis menjelang
Wafatnya
Sebelum
wafat, Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku ingin menyerahkan kekuasaan kepada
musyawarah umat (Syuro), sebagaimana yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin,
agar umat ini kembali kepada keadilan sejati.”
Meskipun
ada perdebatan tentang keterlibatan istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, dalam
peracunan tersebut, sebagian besar perdebatan berpendapat bahwa Umar bin Abdul
Aziz wafat akibat diracun oleh lawan-lawan politiknya yang merasa terancam
dengan revolusi pemerintahan yang ia lakukan. Sebagai seorang pemimpin yang
adil, Umar tidak ingin membalas dendam.
Ia
berkata, "Aku
tahu apa yang membuat sakit hati, dan aku tahu siapa yang melakukannya. Tapi
aku tidak ingin membalas dendam. Biarkan urusanku dengan Allah.",
Umar
bin Abdul Aziz dikenal sebagai salah satu khalifah terbaik dalam sejarah Islam,
sering disebut sebagai "Khalifah Rasyidah Kelima" karena keadilannya,
kemuliaan akhlaknya, dan upayanya untuk mengembalikan sistem pemerintahan Islam
yang lebih adil.
Ketegasan dan ketakwaan seorang gadis penjual susu menjadi alasan Khalifah Umar bin Khattab menikahkannya dengan putranya. Meskipun sifat-sifat tersebut tidak diwariskan secara genetik, kebiasaan baik gadis itu berpotensi menular kepada anak-anaknya, terutama ketika ia berperan sebagai ibu yang mendidik generasi selanjutnya. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak perempuan bernama Laila binti Ashim, yang kelak menjadi ibu dari Umar bin Abdul Aziz.
Sebagai
“Ummu Madrasatul Ula” (ibu sebagai madrasah pertama), peran ibu sangat penting
dalam membentuk karakter anak-anaknya. Umar bin Abdul Aziz mewarisi ketegasan
dari neneknya dan semangat zuhud dari kakek buyutnya, Umar bin Khattab.
Kombinasi karakter ini menjadikannya seorang pemimpin yang adil, tegas, dan
bijaksana.
Ketegasan
dan ketakwaan Umar bin Abdul Aziz terlihat dalam menjalankan pemerintahan yang
adil, tanpa memandang bulu, bahkan terhadap keluarganya sendiri dari Bani
Umayyah. Ia bercita-cita mengubah sistem pemerintahan monarki menjadi sistem
syura (musyawarah), sebuah cita-cita yang terinspirasi dari Khulafaur Rasyidin.
Namun, langkah-langkahnya ini membuat banyak pihak, terutama dari kalangan Bani
Umayyah, merasa tidak senang.
Walaupun
masa kepemimpinannya singkat, Umar bin Abdul Aziz menunjukkan keteguhan
imannya. Ia bahkan menghadapi risiko besar, termasuk diracuni oleh orang-orang
yang tidak menyukai reformasinya. Umar menyadari siapa yang meracuninya, namun
ia menerima hal itu sebagai konsekuensi dari perjuangannya menegakkan keadilan.
Baginya, mengembalikan pemerintahan kepada prinsip syura adalah bentuk
keyakinan yang tidak dapat ditawar, karena ia berusaha meneladani Khulafaur
Rasyidin.
Ada prinsip-prinsip
yang mendasar yang ingin diubah Umar bin
Abdul Aziz dari Monarki menjadi sistem
syuro adalah adanya penyimpangan Aqidah tauhid menjadi syirik, syiriknya bukan
menyembah berhala tapi menjadikan kekuasaan menjadi tujuan utama, lebih
memprioritaskan keluarga Bany Umayyah, penyimpangan aspek Syari’ah adalah
lembaga Baitul Mal menjadi milik Raja, Penyimpangan aspek Qiyadah yaitu
berubahnya istitusi Khilafah menjadi kerajaan.
Banyak ulama yang meyakini bahwa perjuangan Umar bin Abdul Aziz telah dinubuwahkan oleh Rasulullah ﷺ, karena ia memenuhi ciri-ciri seorang pemimpin yang adil dan berupaya memperbaiki kondisi umat.
“Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya.”
Hudzaifah bertanya lagi, “Apakah setelah keburukan itu akan ada kebaikan
lagi?”
Beliau menjawab, "Ya, tetapi ada kekurangannya."
Hudzaifah bertanya, “Apa kekurangannya?”
Beliau menjawab, "Akan ada para pemimpin yang tidak mengikuti
petunjukku dan tidak menjalankan sunahku. Di antara mereka ada orang-orang yang
hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia."
(HR. Bukhari, no. 3606; Muslim, no. 1847)
Wallahu a’lam
bishawab.
Abu Roja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar