Sabtu, 28 Desember 2024

Pandangan Islam menyambut Tahun Baru

Pandangan Islam menyambut Tahun Baru

Pengantar

Waktu adalah salah satu anugerah terbesar dari Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Dalam Al-Qur'an, Allah sering mengingatkan pentingnya waktu, seperti dalam Surah Al-'Asr yang menegaskan bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Pergantian tahun adalah momen refleksi yang penting untuk mencapai pencapaian, mengidentifikasi kekurangan, dan merencanakan langkah ke depan sesuai ajaran Islam. Bagaimana Islam mengajarkan pemanfaatan waktu yang bijak dan memberikan peringatan agar tidak menyerupai tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Pandangan Islam menyambut Tahun Baru

Tahun 2025 akan segera tiba. Momen ini biasanya disambut dengan berbagai acara meriah di berbagai negara, melibatkan masyarakat dari berbagai latar belakang. Namun, sebagai umat Islam, penting bagi kita untuk merayakannya dengan bijak dan tetap sesuai dengan ajaran agama. Tradisi seperti meniup terompet yang dianggap bagian dari tradisi Yahudi, membunyikan lonceng yang merupakan tradisi Nasrani, atau menyalakan kembang api yang berhubungan dengan tradisi Majusi (penyembah api) perlu dihindari.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta." Lalu ada yang bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Apakah mereka mengikuti seperti Persia dan Romawi?' Beliau menjawab, 'Selain mereka, lalu siapa lagi?'” (HR. Bukhari No. 7319) Rasulullah SAW juga bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud No. 4031, disahihkan oleh Al-Albani)

Oleh karena itu, mari kita menyambut tahun baru dengan cara yang benar dan sesuai ajaran Islam. Jadikan momen ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Perhitungan waktu

Al-Qur'an membahas perhitungan waktu, termasuk tahun, dalam beberapa ayat. Salah satu contohnya adalah Surah Al-Kahfi ayat 25 yang menjelaskan lamanya Ashabul Kahfi tinggal di dalam gua:  "Dan mereka tinggal di dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)."  

Ayat ini menunjukkan bahwa 300 tahun dalam kalender Masehi setara dengan 309 tahun dalam kalender Hijriyah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antara sistem perhitungan kalender matahari (Masehi) dan bulan (Hijriyah).

Al-Qur'an juga menjelaskan bahwa Allah menciptakan matahari dan bulan untuk membantu manusia menghitung waktu. Seperti yang disebutkan dalam Surat Yunus ayat 5: "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya tempat-tempat bagi perjalanan bulan, agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu." Begitu pula dalam Surat Al-Isra ayat 12: "Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami). Kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu."

Ayat-ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya waktu sebagai salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk beribadah dan berbuat kebajikan.

Ada sebuah nasihat hikmah yang berbunyi: “Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik dari kemarin, maka dia adalah orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sekarang sama dengan kemarin, maka dia adalah orang yang merugi. Dan barangsiapa yang harinya sekarang lebih buruk dari kemarin, maka dia adalah orang yang celaka."

Meskipun nasihat ini bukan berasal dari hadits-hadits yang shahih, maknanya sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong kita untuk terus memperbaiki diri. Sebagai penguatnya, terdapat hadits shahih yang menekankan pentingnya amal dan istiqamah, seperti:“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad No. 8962, disahihkan oleh Al-Albani). “Setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari No. 1, Muslim No. 1907)

Semangat dari nasihat ini dapat menjadi motivasi bagi kita untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari. Dengan datangnya pergantian tahun, semoga kita bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kesimpulan:

Waktu adalah karunia dari Allah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Al-Qur'an mengingatkan kita tentang pentingnya perhitungan waktu melalui penciptaan matahari dan bulan. Ini menunjukkan bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk beribadah, memperbaiki diri, dan melaksanakan kebajikan.

Meskipun nasehat seperti “Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik dari kemarin, maka dia adalah orang yang beruntung” bukan berasal dari hadits shahih, semangatnya sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk selalu berusaha menjadi lebih baik.

Mari jadikan pergantian tahun sebagai momentum untuk refleksi diri, meningkatkan amal, memperbaiki niat, dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

Allahu a'lam bishawab
Abu Roja

Sabtu, 21 Desember 2024

Mengenal Umar bin Abdul Aziz

Mengenal Umar bin Abdul Aziz

Pengantar

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab melakukan inspeksi malam hari untuk melihat langsung kondisi umatnya. Di sebuah rumah, ia mendengar percakapan antara seorang ibu dengan putrinya. Sang ibu menyuruh putrinya mencampur susu dengan air agar mendapat keuntungan lebih, tetapi putrinya menolak dengan berkata, "Bagaimana mungkin kita melakukan hal ini, padahal Amirul Mukminin melarang mencampur susu dengan air?" Sang ibu beralasan, “Amirul Mukminin tidak melihat kita.” Namun, dengan tegas, putrinya menjawab, “Jika Amirul Mukminin tidak melihat, maka Allah tetap melihat kita.”

Ketegasan dan ketaqwaan jawaban gadis itu sangat mengesankan Khalifah Umar bin Khattab. Esok harinya, Umar mencari tahu tentang gadis tersebut dan akhirnya menikahkannya dengan putranya, Ashim bin Umar bin Khattab. Dari keturunan mereka, lahirlah Umar bin Abdul Aziz.

 

Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz lahir pada tahun 682 M (63 H) di Madinah. Ia adalah cicit dari Umar bin Khattab melalui garis ibunya, Laila binti Ashim. Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan, adalah seorang tokoh penting dalam Dinasti Umayyah, Umar bin abdul Aziz menikah dengan Fatimah binti Abdul Malik, putri Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 717 M setelah sepupunya, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, wafat. Meskipun berasal dari keluarga Dinasti Umayyah yang berbasis monarki (turun temurun), Umar berusaha mengembalikan prinsip-prinsip syuro (musyawarah) seperti yang diterapkan oleh Khulafaur Rasyidin. Sebagai khalifah, ia memerintah selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan hingga wafat pada tahun 720.

Reformasi sistem pemerintahan Monarki Menjadi Sistem Syuro

Umar bin Abdul Aziz bertekad untuk mengembalikan sistem pemerintahan Islam dari monarki turun-temurun yang diterapkan oleh Bani Umayyah, menjadi sistem syuro yang lebih adil seperti pada masa Khulafaur Rasyidin. Salah satu langkah awalnya adalah mengurangi hak istimewa keluarga Bani Umayyah, dan mengembalikan harta yang sebelumnya diambil secara tidak adil ke Baitul Mal (kas negara). Ia juga menghapus pajak-pajak yang memberatkan rakyat dan memfokuskan kebijakan pada kesejahteraan umat.

Reformasi Umar bin Abdul Aziz ini sangat berdampak pada banyak pihak, terutama mereka yang merasa diuntungkan oleh sistem monarki. Oleh karena itu, banyak yang tidak senang dengan kebijakan Umar dan berusaha menjatuhkannya. Pada tahun 720 M, Umar diracun oleh seorang pelayan yang disuap oleh lawan-lawan politiknya. Setelah sakit beberapa hari, Umar bin Abdul Aziz wafat pada usia 39 tahun.

 

Pernyataan Umar bin Abdul Azis menjelang Wafatnya

Sebelum wafat, Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku ingin menyerahkan kekuasaan kepada musyawarah umat (Syuro), sebagaimana yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, agar umat ini kembali kepada keadilan sejati.”

Meskipun ada perdebatan tentang keterlibatan istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, dalam peracunan tersebut, sebagian besar perdebatan berpendapat bahwa Umar bin Abdul Aziz wafat akibat diracun oleh lawan-lawan politiknya yang merasa terancam dengan revolusi pemerintahan yang ia lakukan. Sebagai seorang pemimpin yang adil, Umar tidak ingin membalas dendam.

Ia berkata, "Aku tahu apa yang membuat sakit hati, dan aku tahu siapa yang melakukannya. Tapi aku tidak ingin membalas dendam. Biarkan urusanku dengan Allah.",

Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai salah satu khalifah terbaik dalam sejarah Islam, sering disebut sebagai "Khalifah Rasyidah Kelima" karena keadilannya, kemuliaan akhlaknya, dan upayanya untuk mengembalikan sistem pemerintahan Islam yang lebih adil.

 Kesimpulan

Ketegasan dan ketakwaan seorang gadis penjual susu menjadi alasan Khalifah Umar bin Khattab menikahkannya dengan putranya. Meskipun sifat-sifat tersebut tidak diwariskan secara genetik, kebiasaan baik gadis itu berpotensi menular kepada anak-anaknya, terutama ketika ia berperan sebagai ibu yang mendidik generasi selanjutnya. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak perempuan bernama Laila binti Ashim, yang kelak menjadi ibu dari Umar bin Abdul Aziz.

Sebagai “Ummu Madrasatul Ula” (ibu sebagai madrasah pertama), peran ibu sangat penting dalam membentuk karakter anak-anaknya. Umar bin Abdul Aziz mewarisi ketegasan dari neneknya dan semangat zuhud dari kakek buyutnya, Umar bin Khattab. Kombinasi karakter ini menjadikannya seorang pemimpin yang adil, tegas, dan bijaksana.

Ketegasan dan ketakwaan Umar bin Abdul Aziz terlihat dalam menjalankan pemerintahan yang adil, tanpa memandang bulu, bahkan terhadap keluarganya sendiri dari Bani Umayyah. Ia bercita-cita mengubah sistem pemerintahan monarki menjadi sistem syura (musyawarah), sebuah cita-cita yang terinspirasi dari Khulafaur Rasyidin. Namun, langkah-langkahnya ini membuat banyak pihak, terutama dari kalangan Bani Umayyah, merasa tidak senang.

Walaupun masa kepemimpinannya singkat, Umar bin Abdul Aziz menunjukkan keteguhan imannya. Ia bahkan menghadapi risiko besar, termasuk diracuni oleh orang-orang yang tidak menyukai reformasinya. Umar menyadari siapa yang meracuninya, namun ia menerima hal itu sebagai konsekuensi dari perjuangannya menegakkan keadilan. Baginya, mengembalikan pemerintahan kepada prinsip syura adalah bentuk keyakinan yang tidak dapat ditawar, karena ia berusaha meneladani Khulafaur Rasyidin.

Ada prinsip-prinsip  yang mendasar yang ingin diubah Umar bin Abdul Aziz  dari Monarki menjadi sistem syuro adalah adanya penyimpangan Aqidah tauhid menjadi syirik, syiriknya bukan menyembah berhala tapi menjadikan kekuasaan menjadi tujuan utama, lebih memprioritaskan keluarga Bany Umayyah, penyimpangan aspek Syari’ah adalah lembaga Baitul Mal menjadi milik Raja, Penyimpangan aspek Qiyadah yaitu berubahnya istitusi Khilafah menjadi kerajaan.

Banyak ulama yang meyakini bahwa perjuangan Umar bin Abdul Aziz telah dinubuwahkan oleh Rasulullah , karena ia memenuhi ciri-ciri seorang pemimpin yang adil dan berupaya memperbaiki kondisi umat.

“Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”

Rasulullah menjawab, “Ya.”
Hudzaifah bertanya lagi, “Apakah setelah keburukan itu akan ada kebaikan lagi?”
Beliau menjawab, "Ya, tetapi ada kekurangannya."
Hudzaifah bertanya, “Apa kekurangannya?”
Beliau menjawab, "Akan ada para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunahku. Di antara mereka ada orang-orang yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia."
(HR. Bukhari, no. 3606; Muslim, no. 1847)

 

Bottom of Form

Wallahu a’lam bishawab.

Abu Roja

Jumat, 20 Desember 2024

Kebersihan dan Kesucian yang integral

Kebersihan dan Kesucian yang integral

Pengantar

Dongeng Kabayan jadi imam,  sholat Maghri, baru sampai rakaat kedua, kabayan  kentut. Meski solatnya otomatis batal, Kabayan tidak mundur dari posisi imam dan tetap melanjutkan rakaat terakhir. Setelah selesai salam, para makmum bertanya, "Kenapa Kabayan tidak mundur? Bukankah solatmu batal karena kentut?" Dengan santai, Kabayan menjawab, "Saya mah nggak batal. Saya kan nggak punya wudhu, yang batal itu kalau punya wudhu." Ilustrasi cerita Kabayan ini, meskipun humoris, mengandung pesan penting: sholat tidak sah tanpa wudhu. Wudhu, meski pada dasarnya sunnah, menjadi wajib ketika melaksanakan sholat. serupa kaidah fikih menyatakan:

“Ma la yatimul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Sesuatu yang tidak sempurna kewajiban tanpanya, maka ia menjadi wajib).

 Dalam berbagai kitab-kitab tentang keilmuan islam, memiliki esensi yang sama terkait kebersihan dan kesucian. Dalam ajaran Islam bersih, suci menjadi syarat dan masyrut bisa ditemukan awal pembahasan  kitab kitab Islam seperti : kitab Aqidah, Kitab Fiqh, kitab Akhlaq, kitab Sejarah. Didalam kitab tersebut ada makna yang sama yaitu kebersihan dan kesucian.

Kitab Aqidah dimulai dengan Bab Tauhid.

Bertauhid bersih (suci) dari syirik :
Tauhid  adalah pokok daripada ajaran islam, Secara Bahasa : Satu - Menyatukan – kesatuan, Istilah : Mengesakan Allah dengan asma, sifat dan af’aliyah serta seluruh eksistensinya. Tauhidullah adalah mengesakan Allah, yakni menjadikan Allah sebagai sumber, pusat, dan tujuan dari pengabdian diri “laailaahillallah”. Artinya bagaimana hidup dan kehidupan bertahuid menjadi cita-cita yang mengarahkan visi dan misi hanya semata-mata untuk Allah dan bersih dari kesyirikan, yaitu sesuatu selain Allah.

Kitab Fikih dimulai dengan Bab Thaharah (bersuci).

Thaharah kebersihan  dan kesucian fisik
Bersuci adalah syarat mendasar untuk sahnya ibadah seseorang, baik itu bersuci diri, pakaian, maupun tempat. Nabi SAW bersabda:

 

 “At-thuhuru syathru al-iman” (Bersuci adalah bagian dari iman). (HR. Muslim.

 

Oleh karena itu, thaharah dianggap sebagai fondasi penting dalam menjaga keimanan. Sebagai seorang muslim, menjaga kebersihan dan kesucian diri, keluarga, dan lingkungan merupakan bagian dari upaya menyempurnakan iman.

Kitab Akhlaq dimulai dengan Bab Adab kepada Allah.


Taslim bersih dari kufur
Salah satu adab atau akhlak kepada Allah adalah Taslim. Sikap Taslim mampu membersihkan diri dari sikap kufur terhadap keberadaan Allah. Lawan dari Taslim adalah Kufur. Secara bahasa, Taslim bermakna menerima, menyerah, tunduk, dan patuh kepada-Nya. Secara istilah, Taslim adalah sikap yang muncul dari kesadaran mendalam tentang status diri manusia yang lemah (dha'if), bergantung sepenuhnya kepada Allah, tidak memiliki kekuatan atau kemampuan, tidak mampu hidup mandiri, serta fakir di hadapan Allah Yang Maha Alim, Maha Kuasa, dan Maha Besar. Oleh karena itu, seluruh keberadaan manusia sangat bergantung sepenuhnya kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan.Qs.6:1-72

Kitab Sirah dimulai dengan Nasab Nabi SAW

Terjaganya kebersihan dan kesucian Nasab Nabi SAW
Dalam sirah sering diawali dari kedudukan Nasab Nabi di kehidupan bangsa Arab. Berbicara tentang Nasab adalah bahwa Rasulullah SAW dilahirkan dari Nasab atau keturunan yang terbaik sebagaimana Nabi SAW bersabda 

 “Aku lahir dari pernikahan, bukan percabulan, sejak Adam hingga ayah-ibu melahirkan diriku, sama sekali tak pernah aku disentuh dari percabulan jahiliyah”. “Malaikat Jibril berkata: Aku telah membolak-balikkan bagian timur dan barat bumi ini, tetapi tidak aku temukan seorangpun yang lebih afdol dari Muhammad Saw, telah pula kubolak-balikkan timur dan barat bumi ini, tetapi tidak kutemukan keluarga yang lebih afdol dari keluarga Bani hasyim” (Hr. Baihaqi).

 

Akan mencerderai status Kenabian jika keturunanan  Muhammad bin Abullah  tidak terjaga

Kesimpulan                                                                                                            

Pentingnya kebersihan dan kesucian dalam berbagai aspek keislaman, baik secara fisik, spiritual, maupun nasab. Ilustrasi cerita Kabayan yang humoris mengajarkan bahwa sholat tidak sah tanpa wudhu, menegaskan bahwa kebersihan dan kesucian adalah syarat utama sahnya ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih: “Ma la yatimul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Sesuatu yang tidak sempurna kewajiban tanpanya, maka ia menjadi wajib). Prinsip kebersihan dan kesucian ini tercermin dalam berbagai kitab keilmuan Islam. Kitab Aqidah : Dimulai dengan bab Tauhid, tekanan kebersihan dari syirik sebagai inti keimanan. Kitab Fikih : Dimulai dengan bab Thaharah (bersuci), pentingnya kebersihan fisik untuk sahnya ibadah. Kitab Akhlaq : Dimulai dengan adab kepada Allah, tekanan sikap Taslim sebagai kebersihan hati dari kufur. Kitab Sirah : Menekankan kesucian nasab Nabi Muhammad SAW sebagai bukti keistimewaan beliau sebagai Rasulullah.

 Dengan demikian, kebersihan dan kesucian, baik secara fisik, spiritual, maupun nasab, menjadi fondasi utama dalam menjaga keimanan dan melaksanakan ibadah dengan sempurna. Prinsip ini mencerminkan ajaran Islam yang menyeluruh, mulai dari penyucian hati, tubuh, hingga pengakuan terhadap ketauhidan Allah.

 

Allahu a’lam bishawab
Abu Roja

Kamis, 19 Desember 2024

Perlindungan dan Pemerilaharaan Allah SWT

Perlindungan dan Pemerilaharaan Allah SWT

Pengantar

Kehidupan kita sering kali dihadapkan pada berbagai persoalan hidup. Namun, tidak ada persoalan yang lebih besar dari visi dan misi hidup yang melekat pada tujuan penciptaan kita yaitu ibadah Qs. 5:56. Bagaimana kita menjaga agar hidup dan kehidupan kita tetap berada pada jalur yang telah digariskan oleh Allah, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Bagaimana kita memastikan bahwa jiwa kita selalu lapang untuk menerima dan menjalankan perintah Allah SWT Qs. 39:22 , tanpa merasa berat hati dalam menjalankannya Qs. 57:16 . Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yaitu mengorbankan jiwa dan raga untuk mencapai cita-cita yang sesuai dengan visi misi hidup kita, yakni mentauhidkan Allah dengan seutuhnya. Karena, dengan memurnikan ketauhidan, Allah menjamin hidup, kehidupan dan keselamatan kita adalah bentuk perlindungan dan pemeliahara Allah Qs. 9:40, 21:69, 18:18, sebagaimana yang telah diceritakan dalam Al-Qur'an.

Terselamatkannya Rasulullah saw. dan Abu Bakar di Gua Tsur

Kisah di Gua Tsur terjadi ketika Rasulullah SAW dan sahabatnya, Abu Bakar As-Siddiq, bersembunyi di dalam gua untuk menghindari pengejaran kaum musyrikin Mekkah yang ingin menangkap, memenjarakan, dan membunuh mereka (QS. 8:30). Kejadian ini terjadi setelah perintah hijrah ke Madinah. Kaum musyrikin yang marah karena semakin banyaknya orang yang mengikuti Islam, menawarkan hadiah bagi yang bisa menangkap Rasulullah SAW. Rasulullah dan Abu Bakar pun meninggalkan Mekkah secara diam-diam dan bersembunyi di Gua Tsur. Allah SWT melindungi mereka dengan cara luar biasa. Di mulut gua, Allah menyuruh laba-laba untuk membuat sarang dan burung merpati bertelur di sana. Ketika pengejaran kaum musyrikin sampai di gua, mereka melihat sarang laba-laba yang utuh dan mengira tidak mungkin ada orang di dalamnya, lalu mereka pergi tanpa memeriksa lebih lanjut (referensi dari Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurtubi).

Kisah ini menunjukkan betapa besar perlindungan Allah terhadap hamba-Nya yang beriman, serta pentingnya tawakkal dan keteguhan iman dalam menghadapi ujian.


"Jika kamu tidak menolongnya (Rasulullah), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang yang berada di dalam gua, ketika dia berkata kepada temannya, 'Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.' Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada mereka dan menguatkan mereka dengan pasukan yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menurunkan azab kepada orang-orang kafir." Qs. 9:40

Dari Aisyah RA, ia berkata:
"Ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar berada di dalam gua, Abu Bakar berkata, 'Ya Rasulullah, jika mereka melihat ke bawah kaki mereka, pasti mereka akan melihat kita.' Rasulullah SAW menjawab, 'Apa pendapatmu tentang dua orang yang ketiga di antaranya adalah Allah?' (HR. Bukhari dan Muslim)"

Terselamatkannya Nabi Ibrahim dari Pembakaran oleh Raja Namrud

Kisah Nabi Ibrahim a.s. dibakar oleh Raja Namrud tetapi tidak terbakar dengan izin Allah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, terutama Qs. 21: 68-70, 37: 97-98.

Nabi Ibrahim a.s. hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyembah berhala. Beliau mengajak mereka meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah, tetapi mereka menolak. Untuk menunjukkan kesalahan mereka, Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala mereka, kecuali yang terbesar. Ketika ditanya siapa yang melakukannya, Nabi Ibrahim mengatakan, “Tanyakanlah kepada berhala besar itu.” (QS. 21: 63). Kaum tersebut marah karena merasa dihina dan memutuskan untuk membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup sebagai hukuman. Mereka menyiapkan api yang sangat besar dan melemparkan Nabi Ibrahim ke dalamnya. Namun, Allah memerintahkan api tersebut untuk menjadi dingin dan menyelamatkan Nabi Ibrahim, sebagaimana firman-Nya:

"Kami berfirman: 'Hai api, jadilah dingin, dan keselamatan bagi Ibrahim!'" Qs. 21: 69

Kisah ini mengajarkan keimanan yang kuat dan keyakinan bahwa pertolongan Allah selalu datang kepada orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.

 

Terselamatkannya Pemuda Al-Kahfi dari Kekuasaan Raja yang Zalim

 

Kisah pemuda Ashabul Kahfi terdapat dalam Qs. 18: 9-26. Para pemuda Ashabul Kahfi hidup di tengah masyarakat yang menyembah selain Allah. Mereka adalah pemuda beriman yang menolak ikut dalam kekufuran tersebut. Ketika raja yang zalim memaksa mereka untuk meninggalkan agama mereka, mereka memutuskan untuk melarikan diri dan berlindung di sebuah gua.


"Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedangkan anjing mereka mengulurkan kedua lengannya di muka pintu gua..." Qs. 18: 18.

Di dalam gua, Allah menidurkan mereka selama 300 tahun ditambah 9 tahun. Allah memutar tubuh mereka ke kanan dan kiri agar tubuh mereka tidak rusak, dan anjing mereka tetap berjaga di pintu gua. Hidup, kehidupan, dan keselamatan adalah bentuk penjagaan serta pemeliharaan dari Allah

Kesimpulan

Orang yang beriman dan memurnikan ketaatannya kepada Allah, mendapat jaminan hidup, kehidupan dan keselamatan sebagai bentuk perlindungan dan pemeliharaan dari-Nya. Allah SWT memberikan perlindungan kepada hamba-Nya yang senantiasa berpegang teguh pada ajaran-Nya, baik melalui Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Pemurnian ketaatan ini bukan hanya mencakup ibadah lahiriah, tetapi juga keikhlasan hati dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan memurnikan ketaatan, Allah memberikan jaminan hidup yang penuh berkah, kedamaian dalam hati, dan keselamatan dunia akhirat. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Barang siapa yang beriman dan beramal shalih, maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik kepadanya" (QS. An-Nahl: 97).

 

Allahu a’lam bishawab
Abu Roja

Jumat, 13 Desember 2024

kabar atau khobar

Setiap hari, kita membaca berita. Dengan berkembangnya teknologi informasi, berita kini lebih mudah diakses melalui internet. Kita bisa mendapatkannya dari media online, grup WhatsApp, dan berbagai sumber lain. Internet, sebagai "jendela dunia," memungkinkan kita memperoleh informasi dengan cepat. Berita-berita tersebut menggambarkan berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita maupun di dunia, yang kemudian menjadi bagian dari sejarah.

Pengertian Kabar atau Khobar

Istilah kabar atau khobar istilah Sejarah dalam Al-Quran,  sudah sering kita pahami sebagai berita, informasi, atau pesan. Dalam konteks Al-Qur'an, khobar memiliki makna yang lebih mendalam, yang sering disebut sebagai khubron. Kata ini berasal dari akar kata yang sama, yaitu kha-ba-ra, yang bermakna pengetahuan, pengalaman, atau informasi yang mendalam. Contohnya terdapat dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir (QS. Al-Kahfi: 69) serta kisah Zulkarnain (QS. Al-Kahfi: 91). Khobar adalah fenomena peristiwa yang terjadi  mengandung makna yang mendalam dari pengalaman, pengetahuan atau informasi, yang tidak hanya terlihat secara kasat mata saja, tetapi ada maksud dan tujuan dari fenomena peristiwa berupa hikmah dan pelajaran.

Dalam sejarah, khobar tidak hanya sekadar informasi biasa. Ia mencakup pesan mendalam yang dapat memberikan pelajaran berharga. Misalnya, perjalanan Nabi Musa bersama Nabi Khidir dan kisah Zulkarnain bukan hanya cerita tentang fenomena peristiwa, tetapi mengandung hikmah yang harus dipahami secara mendalam.

Hikmah dari Peristiwa Nabi Musa dan Nabi Khidir

Memaknai fenomena suatu peristiwa tidak selalu tampak dari apa yang terlihat secara lahiriah. Dalam kisah Nabi Khidir, membocorkan perahu tampak sebagai tindakan yang merugikan pemiliknya. Namun, ternyata tujuannya untuk melindungi perahu tersebut dari raja zalim yang akan merampasnya.Membunuh seorang anak yang dilakukan oleh Nabi khidir adalah perbuatan dosa besar. Namun, anak tersebut, jika dibiarkan hidup, akan menjadi sumber penyebab bisa menggeser keimanan ke pada kemusrikan bagi kedua orang tuanya. Membangun tembok yang hampir roboh dilakukan tanpa bayaran. Namun, tindakan ini menyelamatkan harta anak yatim, yang akan berguna di masa depan.

Nabi Khidir menjelaskan kepada Nabi Musa bahwa semua tindakannya dilakukan atas petunjuk Allah. Ini menunjukkan bahwa fenomena suatu peristiwa, yang mungkin tampak buruk di mata manusia, sebenarnya menyimpan kebaikan dan hikmah di baliknya.

Pelajaran dari Khobar atau Khubron

Dari makna khobar atau khubron, kita belajar bahwa fenomena peristiwa yang tampak buruk secara lahiriah bisa saja membawa kebaikan. Sebagai contoh, Rasulullah saw lahir dalam keadaan yatim. Kondisi ini membuat beliau tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan tidak mudah berkeluh kesah. Keyatiman Rasulullah adalah bagian dari pendidikan Allah untuk mempersiapkan beliau sebagai Nabi dan Rasul

Dalam islam, sejarah adalah rangkaian peristiwa yang terjadi berdasarkan sunnatullah (hukum Allah). Oleh karena itu kita harus memaknai perjalanan hidup dengan sabar dan optimis. Setiap musibah atau ujian adalah bagian dari sejarah hidup yang mengandung pelajaran dan hikmah, baik peristiwa kecil atau besar. Hal ini tidak boleh menggeser orientasi visi dan misi hidup kita untuk tetap berada di jalan Allah.


Kisah Nabi Zulkarnain, Yajuj, dan Majuj

Kisah Nabi Zulkarnain menghadapi Yajuj dan Majuj sebagai sebuah fenomena peristiwa penting dalam sejarah Islam sebagai khobar ada makna yang mendalam pesan yang ingin disampaikan Allah dalam Al-Quran. Kisah tentang Yajuj dan Majuj adalah fenomena peristiwa yang juga bagian dari nubuwwah (ramalan) Rasulullah saw, yang akan muncul di akhir zaman, kita meyakini bahwa kebangkitan Islam akan terjadi bersamaan dengan munculnya tanda-tanda kiamat, adanya imam mahdi dan Nabi Isa, termasuk datangnya Dajal serta Yajuj dan Majuj. Fenomena khobar ini mengingatkan kita untuk terus memperkuat iman dan mempersiapkan diri menghadapi fenomena akhir zaman.

 

 

Rabu, 11 Desember 2024

Agama dan ilmu pengetahuan

Agama dan Ilmu Pengetahuan

Pengantar

Dalam Islam, aqidah adalah keimanan yang menjadi landasan utama bagi umat Islam. Sementara itu, filsafat berusaha memahami dan menjelaskan fenomena kehidupan melalui pendekatan rasional, yang pada akhirnya melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Hubungan antara aqidah dan filsafat sering menjadi perdebatan, terutama ketika filsafat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah.

Salah satu pernyataan menarik dalam diskursus filsafat modern datang dari Karlina Supeli, seorang filsuf dan astronom asal Indonesia. Dalam sebuah ceramahnya di kanal YouTube Salihara Arts Center berjudul Kosmos dan Masalah Kebebasan Tuhan, ia pernah mengatakan, "Tuhan dipinggirkan saja, taruh di pojok." Pernyataan ini mengacu pada upaya menjaga objektivitas ilmu pengetahuan dengan menempatkan Tuhan di luar ranah pembahasan sains.

Aqidah Islamiyah berlandaskan wahyu dan keimanan kepada Allah, sedangkan filsafat mengandalkan akal untuk memahami kehidupan. Perbedaan ini kadang menimbulkan konflik, terutama dengan berkembangnya sekularisme di Barat. Namun, tradisi Islam menunjukkan bahwa Agama dan Ilmu Pengetahuan dapat saling mendukung untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik.

Dalam pandangan sekularisme, agama dianggap sebagai ranah pribadi yang terpisah dari kehidupan publik. Akibatnya, ilmu pengetahuan berkembang tanpa pengaruh langsung dari nilai-nilai agama.

 

Agama dan ilmu pengetahuan

Agama dalam makna Ad-Din adalah aturan atau peraturan yang diwahyukan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasul untuk membawa keselamatan dan kebahagiaan manusia di setiap zaman.

Aturan ini mencakup tuntunan, petunjuk, pelajaran, pendidikan, ilmu, amal, contoh teladan, dan perumpamaan. Aturannya mengatur segala aspek kehidupan, mulai dari hal kecil hingga besar, dari kebutuhan pribadi hingga kepentingan seluruh umat, serta mencakup dunia nyata (zahir) maupun dunia ghaib. Peraturan ini berlaku untuk kehidupan sementara di dunia fana hingga kehidupan kekal di akhirat, demi keselamatan dan kesejahteraan baik jagat kecil (mikrokosmos) maupun jagat besar (makrokosmos).

Din Islam adalah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Ia diturunkan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hamba-Nya selama hidup di dunia. Allah menganugerahkan akal sebagai nurun filqolbi (cahaya dalam hati) untuk memahami ilmu dan pengetahuan. Anugerah ini menjadi bekal bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, sebagaimana disebutkan dalam Qs. 2:31

Artinya : "Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, 'Sebutkan kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.'"

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mengajarkan Nabi Adam, sebagai manusia pertama, pengetahuan tentang nama-nama benda dan makhluk di sekitarnya. Pengetahuan ini mencakup kemampuan memahami, mengenal, dan mengelola alam semesta, yang menjadi bekal penting bagi manusia dalam menjalankan peran sebagai khalifah di bumi. Allah memberikan kemampuan belajar dan memahami kepada manusia. Ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah karunia langsung dari Allah. Dengan akal, manusia dapat memahami ilmu yang diajarkan oleh Allah, mengembangkannya, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ayat ini mengingatkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menggunakan ilmu dan akalnya dengan baik, sesuai dengan kehendak Allah, demi kemaslahatan dunia dan akhirat.

Dengan demikian, QS. 2:31 menjadi landasan bahwa Allah-lah sumber segala ilmu, dan Dia mengajarkan manusia agar mampu menjalankan tugasnya di dunia dengan akal dan ilmu pengetahuan.

Dengan akal dan ilmu pengetahuan, manusia terus berkembang dari masa ke masa. Sejak Nabi Adam hingga saat ini, kemajuan manusia semakin terlihat. Kecerdasan manusia masa kini mampu mengumpulkan berbagai pengalaman dan hasil penelitian, yang melahirkan ilmu pengetahuan baru. Berkat ilmu inilah, manusia mencapai kemajuan yang luar biasa, termasuk kemampuan menciptakan kecerdasan buatan (AI) di era modern.

Ilmu pengetahuan telah mencapai puncak kemajuannya, membuat manusia mampu menguasai daratan, lautan, dan udara. Namun, keberhasilan ini justru membuat ilmu pengetahuan dipuja-puja seperti berhala buatan sendiri. Manusia seolah menghambakan diri kepada ilmu pengetahuan, menjadikannya tandingan (andad) Allah sebagai Sang Pencipta.

Bagi kaum materialis, ilmu pengetahuan sering kali melupakan eksistensi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Mereka lupa bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka banggakan sesungguhnya adalah anugerah dari Allah, yang mengatur seluruh alam semesta, termasuk manusia dan ilmunya.

Apa yang manusia hasilkan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya bukanlah penciptaan, melainkan sekadar merangkai apa yang sudah Allah ciptakan. Namun, banyak yang kemudian menjadikan ilmu pengetahuan sebagai "tuhan," sehingga melahirkan kesombongan dan keangkuhan. Mereka menolak dan membuang apa pun yang dianggap tidak masuk akal. Sikap seperti ini justru menjauhkan manusia dari Sang Khalik, yang adalah sumber dari segala ilmu dan penciptaan.

Manusia yang tidak mengenal Sang Khalik cenderung menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya untuk memenuhi hawa nafsunya. Dengan alasan modernisasi atau kemajuan ilmu, mereka mengabaikan tanggung jawab menjaga dan memelihara dunia. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba menciptakan teknologi untuk menunjukkan kekuasaan, yang pada akhirnya berpotensi memicu konflik besar seperti perang dunia ke-3, yang dapat menghancurkan peradaban manusia.

 

Mereka tidak menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu yang dimiliki seharusnya digunakan untuk menyempurnakan kewajiban sesuai ajaran Islam, bukan sebagai alasan untuk kufur kepada Allah atau murtad dari agama-Nya.

 Allahu a'lam bishawab.
Abu Roja

 

 

 

 

 

Jumat, 06 Desember 2024

Mengambil hikmah Viralnya penjual es teh.

 Mengambil  hikmah Viralnya penjual es teh.

Pengantar

Berita viral kontroversi Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah masih terus jadi perbincangan. Hal ini terkait dengan video viralnya yang dianggap mengolok-olok penjual es teh saat pengajian yang membuat geram para netizen usai melontarkan hinaan terhadap seorang penjual es teh yang berjualan di lokasi acara. Peristiwa olok-olok itu terjadi saat acara selawatan di Lapangan drh Soepardi, Sawitan, Mungkid, Kabupaten Magelang, beberapa waktu lalu. Ucapan Gus Miftah itu beredar viral dalam bentuk video.

Ada  sebuah pesan penting terkait sosok penjual es teh menjalankan perannya status fungsi seorang suami dan ayah dalam menafkahi keluarga, yang menjadi topik sentral dalam ajaran Islam, penjual es teh menjadi objek diolok-olok oleh Gus Miftah. Dalam pandangan Islam, tanggung jawab menafkahi keluarga adalah kewajiban mulia yang menuntut kesungguhan, kesabaran, dan kerja keras. Hal ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yang menekankan bahwa sebaik-baiknya seorang Muslim adalah yang terbaik dalam memperlakukan keluarga, terutama dalam hal memberikan nafkah.

Mencari nafkah dalam tinjauan  Al-Quran

Dalam surah Al-Jumu'ah (62:10), Allah SWT berfirman, "Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." Ayat ini menunjukkan bahwa setelah menunaikan ibadah, umat Islam diperintahkan untuk berusaha mencari rezeki dan memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Tugas mencari nafkah bukanlah kegiatan duniawi yang terpisah dari agama, melainkan bagian dari cara seseorang menghidupi prinsip-prinsip agama dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam konteks ini, mencari nafkah menjadi sarana untuk memperoleh karunia Allah, yang dapat mendatangkan berkah tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.

 

Mencari nafkah dalam tinjauan  Sunnah

Dalam sunnah Rasulullah, menafkahi keluarga dianggap sebagai ibadah yang mendatangkan pahala besar. Bahkan, setiap tetes keringat yang dihasilkan seorang suami dalam mencari nafkah adalah bentuk jihad di jalan Allah. Rasulullah SAW juga bersabda: "Tidak ada nafkah yang lebih baik selain yang kamu nafkahkan untuk keluargamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, setiap usaha yang dilakukan dengan niat yang tulus untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan dihargai oleh Allah dengan pahala yang berlimpah.

Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku." (HR. Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang suami dalam memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan bathin bagi istri serta anak-anaknya. Menafkahi keluarga bukan hanya sebatas memberikan materi, tetapi juga mencakup perhatian, kasih sayang, dan pendidikan untuk istri dan anak-anaknya dengan baik.

Kasus Gus Miftah yang viral ini Video yang beredar itu merekam momen Gus Miftah mengumpat ke penjual es teh, mengingatkan umat Muslim untuk kembali merenungkan nilai-nilai status sebagai qowam dalam menjalankan tanggung jawab keluarga. Dalam kondisi apapun, tanggung jawab seorang kepala keluarga untuk memastikan kesejahteraan anggota keluarganya merupakan bagian dari kemuliaan dan hikmah yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran akan makna ibadah, bukan di olok-olok seperti yang dilakukan oleh Gus Miftah.  

Dunia menjadi wasilah menggapai kebahagian Akhirat

Islam mengajarkan bahwa dunia dan akhirat tidak terpisah, keduanya saling terkait. Menjalankan kewajiban duniawi, seperti mencari nafkah, dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan syariat, dapat menjadi jalan untuk mencapai tujuan akhirat.

Surah Al-Baqarah (2:286)

﴿لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ  ٢٨٦

Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".Qs. 2:286

Bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, yang mengajarkan bahwa setiap usaha dan ikhtiar, sebesar apapun, jika dilakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Islam, maka itu adalah bagian dari ibadah yang akan diberi ganjaran oleh Allah.

Begitu juga dalam sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, "Sesungguhnya setiap usaha yang dilakukan oleh seorang hamba untuk keluarganya adalah sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah untuk keluarga adalah bentuk ibadah yang sangat dihargai oleh Allah, asalkan dilakukan dengan kesungguhan dan niat yang benar.

Jadi, mencari nafkah tidak hanya soal penghasilan materi, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menegakkan agama dalam kehidupan keluarga. Kesungguhan dalam berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah bagian dari amal saleh yang akan mendatangkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, mencari nafkah menjadi jalan untuk menyempurnakan kewajiban seorang Muslim dalam menegakkan dinul Islam, sekaligus memastikan bahwa dunia dan akhirat berjalan seiring sejalan.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Qasas (28:77),

﴿وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ  ٧٧

 

Artinya : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu (kebahagiaan) di dunia." Ayat ini menegaskan bahwa kita tidak boleh hanya fokus pada satu aspek saja, baik dunia maupun akhirat, tetapi harus menjalani keduanya dengan niat yang benar dan seimbang. Qs. 28:77

Mencari nafkah, bekerja keras, dan berusaha dengan sungguh-sungguh adalah bagian dari amal ibadah dalam Islam, selama dilakukan dengan niat untuk memenuhi kebutuhan halal, membantu orang lain, dan menjaga kehormatan keluarga. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya setiap usaha yang dilakukan oleh seorang hamba untuk keluarganya adalah sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar dan sesuai dengan syariat adalah suatu amal yang bernilai ibadah.

Dalam Islam, prioritas utama adalah menggapai kebahagiaan akhirat, namun bukan berarti kita mengabaikan kehidupan dunia. Sebaliknya, dunia menjadi sarana atau wasilah untuk mencapai akhirat, termasuk dalam hal mencari nafkah. Mencari nafkah adalah kewajiban yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sebagaimana kita berusaha sungguh-sungguh dalam meraih kebahagiaan akhirat. Namun, dalam hal ini, kita harus ingat bahwa yang menentukan hasil dari usaha tersebut adalah Allah, bukan manusia atau sebab-sebab duniawi lainnya.

Dalam konteks mencari nafkah, kita dapat membandingkannya dengan orang yang sakit dan berikhtiar berobat kepada dokter. Meskipun dokter berperan dalam proses penyembuhan, namun yang menyembuhkan adalah Allah. Dalam hal ini, berobat ke dokter adalah ikhtiar yang diperintahkan dalam Islam, dan jika seseorang tidak berikhtiar untuk berobat ketika sakit, maka ia telah melanggar kewajiban untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Begitu pula dengan mencari nafkah, berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah suatu kewajiban yang diatur dalam syariat, dan jika seseorang mengabaikan kewajiban ini, ia dianggap berdosa.

Allah SWT berfirman dalam Surah At-Tawbah (9:105)

﴿وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ  ١٠٥

Artinya : "Dan katakanlah: 'Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang tampak, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.'" Qs. 9:105

Ayat ini menekankan bahwa setiap amal, termasuk usaha mencari nafkah, harus dilakukan dengan niat yang benar dan ikhlas, untuk mencapai ridha Allah.

Mencari nafkah bukan hanya soal memperoleh materi, tetapi juga merupakan bagian dari usaha untuk menjaga kehormatan dan kesejahteraan keluarga. Dengan niat yang ikhlas dan berlandaskan syariat, setiap usaha untuk mencari nafkah menjadi amal yang mendatangkan pahala dan dapat mengantarkan seseorang lebih dekat pada kebahagiaan akhirat. Jadi, mencari nafkah harus dilihat sebagai wasilah, yang akan mendukung kita untuk memenuhi kewajiban agama lainnya dan menjaga keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat.

Kesimpulan

Mengambil hikmah peristiwa viralnya “Video Gus Miftah” ada pelajaran penting baik untuk Gus Miftah maupun kita sebagai umat Islam. Peristwa ini contoh seorang penjual es teh menjalankan status sebagai Qowam salah satunya mencari nafkah bagi keluaga. Dalam Islam, tujuan utama hidup seorang Muslim adalah menggapai kebahagiaan akhirat, namun hal ini tidak berarti mengabaikan dunia. Mencari nafkah adalah kewajiban yang diatur dalam syariat, dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh sebagaimana kita sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Mencari nafkah bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi merupakan wasilah (sarana) untuk mendukung amal ibadah dan mencapai ridha Allah. Sama seperti berikhtiar untuk berobat ketika sakit, mencari nafkah adalah kewajiban yang harus dijalankan, dan jika diabaikan, itu bisa berdosa. Dengan niat yang ikhlas dan usaha yang maksimal, setiap langkah dalam mencari nafkah akan menjadi amal saleh yang mendatangkan pahala dan mendekatkan kita pada kebahagiaan akhirat, bukan untuk di olok-olok seperti dilakukan oleh Gus Miftah.

 

Wallahu a’lam bishawab

Abu Roja

Pengantar Aqidah


 

Pengantar

Aqidah adalah isu sentral yang menjadi pondasi utama bagi eksistensi dan kekuatan umat Islam. Aqidah berperan sebagai solusi nyata dalam kehidupan karena menjadi akar, dasar, dan poros bagi setiap aktivitas kita. Aqidah adalah kebutuhan yang bersifat permanen, bukan sekadar konsep teoretis yang indah di atas kertas. Sebaliknya, aqidah harus melandasi amal dan aktivitas kita, berdasarkan pemahaman yang mendalam dan pertumbuhan keimanan yang terus berkembang.

Degradasi keimanan adalah penurunan atau fluktuasi (naik-turun) iman seseorang yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosial dan budaya yang tidak kondusif. Lingkungan ini sering kali menjauhkan seseorang dari nilai-nilai aqidah, terutama karena pengaruh materialisme, hedonisme, dan individualisme. Akibatnya, daya tahan aqidah melemah, sehingga sulit melawan godaan syahwat seperti cinta berlebihan terhadap wanita, anak-anak, dan kesenangan duniawi lainnya. 

﴿زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ  ١٤

Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).Qs. 3:14

Degradasi keimanan terjadi karena aqidah yang lemah dan perlu diperbarui agar tetap kuat dan kokoh.

Maka ketika ditanyakan Aqidahnya atau tentang Aqidahnya akan sama halnya mempertanyakan syahadahnya sebagai eksistensi ummat islam. Pembinaan Aqidah sebagai asas yang harus kita fahami adalah mengingat kembali pada syahadah legalitas keislaman seseorang, yang mengarah pada keimanan/keyakinan.

 

Syahadah

Syahadah adalah pernyataan resmi keislaman seseorang. Allah tidak akan menghukum manusia sebelum mengutus seorang rasul yang menjelaskan perbedaan antara yang baik dan buruk, serta yang haq dan batil. Sampai menjadikan syahadah sebagai landasan amal dan aktivitas seorang muslim.

Hal yang harus dijawab oleh ummat Islam redaksinya sebagai berikut:

·        Mengapa harus ada syahadah?

·        Apa yang melandasi kita bersyahadah? Keturunankah? karena landasan dari bersyahadah bisa mengarahkan pada keimanan/keyakinan sebagai legalitas keislaman.

Bertanya tentang syahadah bertanya tentang Aqidah

·        Apa itu Aqidah

·        Mengapa Aqidah

·        Bagaimana Aqidah

·        Bertanya tentang apa itu Aqidah? Berarti berbicara tentang “Pengertian Aqidah”

·        Bertanya tentang mengapa Aqidah? Berarti berbicara tentang “Status dan Fungsi Aqidah”

·        Bertanya tentang Bagaimana Aqidah? Berarti berbicara tentang “Proses pemabangunan Aqidah”

Syahadah merupakan ungkapan formal dari keyakinan dan keimanan kita sebagai seorang Muslim. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Anfal (8:74), Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan berhijrah untuk berjihad di jalan-Nya, mereka adalah orang-orang yang benar-benar berpegang pada aqidah dan keyakinan Islam. Syahadah, sebagai deklarasi iman, mencakup pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.

Selain itu, syahadah juga menjadi dasar dari pemahaman tentang iman, hijrah, dan jihad. Iman mencakup keyakinan terhadap enam rukun iman yang harus diyakini oleh setiap Muslim, yaitu:

1.     Iman kepada Allah

2.     Iman kepada malaikat

3.     Iman kepada kitab-kitab-Nya

4.     Iman kepada rasul-rasul-Nya

5.     Iman kepada hari kiamat

6.     Iman kepada qadha dan qadar (baik maupun yang buruk)

Hadits dari Umar bin Khattab juga mengajarkan tentang iman, Islam, dan ihsan, yang merupakan inti dari ajaran agama Islam. Iman adalah keyakinan hati, Islam adalah pengamalan syariat, dan Ihsan adalah beribadah dengan penuh kesungguhan seakan-akan kita melihat Allah, atau jika tidak melihat-Nya, kita meyakini bahwa Allah melihat kita. Kesemuanya ini membentuk landasan bagi seorang Muslim dalam menjalani hidup sesuai dengan ajaran Islam yang mengarah pada kebaikan dunia dan akhirat.

 

Pengertian Aqidah

Aqidah, menurut bahasa (lugawi), berasal dari kata "aqoda" yang berarti mengikat, mengikatkan, atau menjalin. Kata ini kemudian berkembang menjadi "ya'qidu" (yang mengikat) dan "aqidah" (ikatan atau keyakinan). Secara harfiah, aqidah berarti sebuah ikatan yang kuat atau janji yang kokoh.

Dalam konteks ajaran Islam, aqidah merujuk pada keyakinan yang mantap dan teguh, yang tidak mudah berubah. Aqidah adalah fondasi utama bagi setiap individu dalam memahami dan mengamalkan ajaran islam, yang berkaitan dengan pokok-pokok ajaran yang diyakini dan diterima dengan penuh keyakinan dalam hati, seperti keimanan kepada Allah, rasul-rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat, hari akhir, dan takdir. Aqidah adalah landasan yang mengikat seorang Muslim untuk tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip keimanan yang benar sesuai dengan ajaran Islam.      

 

Status dan Fungsi Aqidah

Status dan fungsi aqidah dapat diibaratkan seperti status dan fungsi ikatan tali pada seekor domba. Dalam ilustrasi ini, terdapat pusat ikatan dan tali yang menghubungkan pusat ikatan dengan domba sebagai objek yang diikat. Fungsi tali ini adalah untuk membatasi ruang gerak domba. Ruang lingkup gerak domba ditentukan oleh panjang pendeknya tali. Semakin panjang tali, semakin luas ruang gerak domba. Sebaliknya, semakin pendek tali, semakin kecil ruang gerak domba. Selain itu, semakin pendek tali, semakin kuat ikatan, dan domba akan semakin dekat dengan pusat tali ikatan.

Makna pusat tali ikatan adalah Allah sebagai Al-Khaliq (Sang Pencipta), sementara objek ikatan adalah manusia sebagai makhluk-Nya. Tali ikatan melambangkan ruang lingkup yang diberikan oleh Allah, yang panjang atau pendeknya telah ditentukan.

Fungsi tali ikatan ini adalah untuk membatasi wilayah manusia, dengan adanya garis pembatas (demarkasi) yang memisahkan antara wilayah haq dan wilayah bathil. Wilayah haq adalah wilayah tauhid, yang mencakup ketaatan (itha’ah) kepada Allah. Sebaliknya, wilayah bathil adalah wilayah syirik, yaitu mengarahkan ikatan kepada selain Allah sebagai pusatnya.

Fungsi aqidah sebagai tali ikatan adalah untuk membatasi hidup dan kehidupan manusia agar tetap berada dalam koridor yang sesuai dengan petunjuk Allah. Aqidah menjadi pengarah sekaligus pembatas, menjaga manusia dari menyimpang ke jalan yang salah, serta memastikan setiap langkah hidupnya berada dalam bingkai kebenaran dan ketaatan kepada Allah.

Melepaskan ikatan kepada Allah berarti mengikatkan diri pada sesuatu selain-Nya sebagai pusat ikatan. Hal ini berarti keluar dari ketaatan kepada Allah (khoroja anitho'ah) dan keluar dari persatuan umat Islam (khoroja aniljamaah).

Semakin dekat seseorang dengan pusat tali ikatan, yakni Allah sebagai Al-Khaliq, maka semakin ia menyatu dengan kehendak dan eksistensi-Nya. Kedekatan ini mencerminkan kebebasan sejati yang Allah berikan kepada manusia, karena hakikat kemerdekaan adalah tunduk sepenuhnya kepada Allah. Dalam ketaatan kepada-Nya, manusia menemukan kebebasan dari belenggu hawa nafsu, kesesatan, dan penghambaan kepada selain Allah.

Status dan fungsi  Aqidah dapat diibaratkan seperti status dan fungsi ikatan tali pada seekor kuda yang berfungsi sebagai alat pengendali. Dalam ilustrasi ini, tali pada kuda digunakan untuk mengarahkan visi, misi, serta tujuan perjalanan kuda tersebut. Demikian pula, aqidah berfungsi sebagai pengendali bagi manusia, menentukan arah hidup, tujuan, dan hakikat berdinul Islam untuk tetap berada di jalan yang benar sesuai petunjuk Allah.

Dengan memahami wilayah yang membatasi, seseorang mampu mengenali dengan jelas batasan-batasan dalam kehidupannya. Pemahaman ini membantu membedakan mana yang halal, makruh, syubhat, dan haram. Hal ini penting agar setiap keputusan dan perbuatan tetap berada dalam kerangka syariat yang diridhai Allah, menjaga diri dari pelanggaran, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian.

Aqidah secara istilah adalah keyakinan yang berbicara tentang status, fungsi, dan tanggung jawab seorang mukmin atau muslimah. Tanggung jawab ini diwujudkan dalam bentuk ketaatan penuh hanya kepada Allah. Secara istilah, aqidah berarti iman dan keyakinan yang kokoh, yang menjadi dasar hidup seorang muslim. Substansi aqidah mencakup penjagaan terhadap amanah berupa iman dan keyakinan, sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur'an. Aqidah adalah ikatan yang menghubungkan manusia dengan Allah, sebuah sumpah dan janji yang menuntut ketaatan, menjaga kesetiaan, dan menghindari segala bentuk penyimpangan.

Kesimpulan:

Aqidah berfungsi sebagai tali yang menghubungkan makhluk dengan Allah. Semakin panjang dan kokoh tali (aqidah) yang kita miliki, semakin luas ruang gerak dan kebebasan yang kita miliki untuk hidup sesuai dengan petunjuk Allah. Tali yang lebih pendek mencerminkan hubungan yang lebih dekat dengan Allah, tetapi juga bisa menunjukkan keterbatasan dalam kebebasan hidup. Semakin kuat aqidah kita, semakin dekat hubungan kita dengan Allah, dan kita merasakan kebebasan sejati dalam hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Sebaliknya, jika aqidah lemah, kita akan merasa semakin terikat dengan dunia dan semakin jauh dari kebebasan yang hakiki.

 Aqidah adalah dasar keimanan yang menjadi landasan hidup seorang muslim, berupa keyakinan penuh kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Fungsi utama aqidah adalah membimbing manusia untuk menjalankan amanah kehidupan dengan menjaga iman, ketaatan, dan kesetiaan kepada Allah.

Solusi agar Aqidah Tetap Terjaga:

1.     Memperkuat Pemahaman Agama: Pelajari Al-Qur'an dan Hadis untuk memperdalam ilmu tentang iman dan syariat Islam.

2.     Meningkatkan Ibadah: Lakukan ibadah wajib dan sunnah secara konsisten untuk mempererat hubungan dengan Allah.

3.     Lingkungan yang Baik: Bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemahaman aqidah yang kuat.

4.     Menghindari Syubhat dan Maksiat: Jauhi hal-hal yang dapat melemahkan iman, seperti perbuatan maksiat dan pengaruh yang merusak.

5.     Memperbanyak Doa: Selalu berdoa kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk tetap istiqamah dalam keimanan.

Dengan langkah-langkah ini, aqidah dapat terjaga dan menjadi landasan yang kokoh dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.

Bersambung……

 

Wallahu a’lam bishawab

Abu Roja