Dalam perjalanan hidup manusia, hijrah bukan hanya berarti berpindah tempat, tetapi juga berpindah cara berpikir dari kegelapan menuju cahaya, dari syirik menuju tauhid. Perubahan ini dimulai dari dalam diri, melalui proses yang disebut Hijrotul Fikri, yaitu hijrah dalam cara berpikir.
Allah SWT berfirman
dalam QS. Al-‘Alaq: 1–5:
"Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya."
Ayat ini adalah wahyu
pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW dan sekaligus menjadi
fondasi bagi revolusi pemikiran umat manusia. Allah tidak hanya memerintahkan
untuk membaca, tetapi untuk membaca dengan nama Rabb-Nya artinya,
membaca realitas hidup dengan landasan tauhid, bukan berdasarkan hawa nafsu
atau nilai-nilai batil. Inilah titik tolak Hijrotul Fikri, hijrah
pemikiran yang menjadi dasar setiap perubahan sejati dalam diri seorang Muslim.
Hijrotul Fikri sebagai basis
fudamental proses hijrahnya seseorang
Hijrotul Fikri adalah basis fundamental proses hijrahnya seseorng meninggalkan cara
berpikir yang keliru, menyimpang, atau rapuh, lalu membangun pola pikir yang
lurus dan kokoh berdasarkan tauhid. Ia mengubah ketergantungan manusia dari makhluk
menuju Allah semata. Dari keyakinan yang rapuh menuju keyakinan yang mantap
berlandaskan kalimat “La ilaha illallah”. Ini adalah fondasi
untuk membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan selain kepada Allah.
Membaca Realitas dengan Bismirabbika
Dalam wahyu pertama,
Allah berfirman: “Iqra’ bismirabbika” bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu. Ini menunjukkan bahwa membaca tidak sekadar memahami teks, tetapi juga
membaca konteks: memahami realitas sosial, budaya, politik, dan spiritual di
sekitar kita. Maka Hijrotul Fikri menjadi pisau analisis yang tajam ia
mampu memetakan masalah dan membedakan antara yang benar dan yang batil, antara
nilai-nilai tauhid dan nilai-nilai syirik yang tersembunyi di balik tradisi,
budaya, atau bahkan modernitas. Hirotul
fikir sekaligus mampu meninggalkan nilai-nilai yang buruk, salah, dan bathil.
Ia dengan sadar memilih untuk menjalankan nilai-nilai yang baik, benar, dan
haq, yaitu dengan taat pada hukum-hukum Allah, Al-Khaliq.
Hijrtotul Fikri adalah pantulan dari cahaya Iman Nurul Fitrah
Setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Namun fitrah ini bisa tertutup oleh kabut
kebodohan, kesesatan, dan sistem nilai yang menyesatkan. Ketika cahaya iman
kembali menyinari fitrah, manusia mulai berpikir dengan petunjuk wahyu. Maka
terjadilah revolusi dalam diri revolusi cara pandang terhadap hidup dan
kehidupan. Dari yang tadinya hanya mengikuti arus, menjadi pribadi yang sadar
dan terarah. Inilah revolusi diri yang bersumber dari pantulan cahaya Iman
Nurul Fitrah.
Bismirabbika Sebagai Poros Berpikir
Kata “Bismirabbika”
adalah kunci. Ia menjadi bingkai dalam berpikir. Dengan menyandarkan cara
pandang kepada Rabb, seseorang memiliki standar nilai yang jelas, apakah suatu
sistem atau cara hidup selaras dengan nilai-nilai Al Khaliq atau tidak? Maka “Bismirabbika”
bukan hanya pembuka bacaan, tetapi kerangka berpikir. Ia menjadi kacamata untuk
menilai dan menimbang segala sesuatu dalam hidup.
Awal Perubahan Sejati
Hijratul Fikri, Hijrah
pemikiran adalah langkah awal menuju perubahan besar dalam hidup. Ia dimulai
dari kesadaran, dikuatkan oleh cahaya iman, dipandu oleh kerangka nilai Bismirabbika,
dan diwujudkan dalam keberanian untuk menilai dan memperbaiki tatanan hidup.
Ketika seseorang berubah cara berpikirnya, maka seluruh hidupnya pun ikut
berubah: dari gelap menuju terang, dari syirik menuju tauhid, dari batil menuju
kebenaran. Ia berpikir, bersikap, dan bertindak dengan Allah sebagai
pusatnya.
Wallahu ‘alam
Abu Roja